Mohon tunggu...
Liza Irman
Liza Irman Mohon Tunggu... -

Saya suka menulis, itu saja...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bumi Manusia, Nasibmu Dulu dan Kini

29 Mei 2018   12:05 Diperbarui: 30 Mei 2018   04:56 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya suka buku...

Dan saya sudah suka membaca buku sendiri sejak umur 5 tahun. Beberapa buku saya anggap sakral. Salah satunya adalah Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer.

Pertama kali saya membaca Bumi Manusia di tahun 1999. Saya ingat buku itu tak lepas dari genggaman dan semakin terhanyut ketika membaca ketiga buku berikutnya. Saya yang sebelumnya tidak kenal dengan bangsa sendiri akhirnya "melek", tak menyangka... langsung jatuh cinta. Perasaan saya bergejolak dan meluap-luap, khas mahasiswa dengan segala idealismenya. Sejak saat itu, saya mulai mengumpulkan karya-karya dari sastrawan besar yang hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara itu.

Meski karya-karya Pram telah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa asing dan bahkan menjadi bahan ajar wajib di sekolah-sekolah dan universitas luar negeri, tapi sayangnya tidak bernasib baik di negeri sendiri. 

Peredaran Tetralogi Buru pernah dilarang selama beberapa masa karena dianggap sangat berbahaya. Pegawai di Kedubes Australia yang menjadi penerjemah dalam Bahasa Inggris pun dikembalikan ke negaranya karena menerjemahkan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, nama Pram tidak sekalipun tercatat sebagai referensi...konon berharap karyanya dikaji dan didiskusikan (mimpi aja lu!)

Menyedihkan, tapi tidak heran. Inilah dosa besar pendidikan Indonesia. Murid-murid cukup menghapal nama sastrawan, judul buku dan angkatannya saja. 

Pembelajaran sastra hanya sejauh teori dan sebatas bagian kulit saja. Minat baca yang rendah, guru-guru Bahasa Indonesia yang tidak benar-benar memahami kesastraan ditambah pelabelan "Pram-komunis" yang masih melekat dalam alam bawah sadar, membuat karya satu-satunya penulis Indonesia yang pernah menjadi kandidat penerima Nobel Sastra itu semakin asing di negeri sendiri.

Lalu...boom! Orang itu muncul. Seorang Hanung Bramantyo yang katanya pernah mendatangi langsung Pram lalu mengungkap mimpinya untuk memfilmkan Bumi Manusia dan disambut tawa oleh yang bersangkutan.

Sayang usia Pram tidak sepanjang umur Chigusa Tsukikage sebagai satu-satunya pemegang hak pementasan "Bidadari Merah" dalam manga Topeng Kaca karya Suzue Miuchi, sehingga bisa memilih siapa yang akan mementaskan kembali karya tersebut di antara banyak orang yang begitu terobsesi.

Sekarang Pram telah tiada. Entah dia terisak atau terbahak di alam sana mengetahui keluarganya mematok harga 5 milyar dan menjualnya kepada Falcon Pictures sehingga mimpi orang itu dapat terwujud. "Denger-denger sih gitu. Tidak tahu pastinya. Tapi, rencananya 21 anak cucu Pram akan umrah bersama. Itu kan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Itu juga membuktikan kalau Pram dan keluarganya tidak ateis," kata Soesilo Toer, adik Pram berkelakar.

Saat ini Bumi Manusia menjadi milik semua orang dan tidak lagi menjadi monopoli kalangan terbatas. Konon di Gramedia, Bumi Manusia tiba-tiba menjadi buku yang paling dicari. Dalam akun twitternya (@commaditya) Putu menulis: "Selama berpuluh tahun kalian bikin seminar, bedah buku dll mengajak orang-orang untuk membaca Bumi Manusia dan sekarang Iqbal bisa bikin orang-orang baca BM dengan sekali kedip. Iqbal >>> Kalian semua."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun