Mohon tunggu...
Livia Nirdiantari
Livia Nirdiantari Mohon Tunggu... Mahasiswa

Suka mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dari Timur untuk Nusantara : Kisah Tabola Bale

30 September 2025   17:46 Diperbarui: 30 September 2025   17:46 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lagu Tabola Bale, yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), lagu tersebut viral serta ditampilkan dalam perayaan HUT RI ke-80 di Istana Negara. Lagu ini dibuka dengan lirik sederhana dan jenaka yang mengandung bahasa daerah NTT, bahasa Indonesia, dan sedikit bahasa Minang. Lirik ini membawa kesegaran dan mencerminkan kegembiraan dari keragaman budaya Indonesia.

Ketika lagu ini ditampilkan di Istana Negara, menciptakan suasana cair dan menyenangkan. Presiden, pejabat, hingga masyarakat luas larut dalam kegembiraan, yang kemudian menyebar luas di media sosial. Dalam konteks komunikasi kritis, penulis melihat Tabola Bale sebagai simbol bagaimana budaya populer bisa menjadi bahasa politik---mewakili semangat inklusif, muda, dan Indonesia yang "bahagia".

Namun, penulis juga mengajak pembaca untuk tidak hanya terpukau oleh simbolisme ini. Meski budaya lokal dari Timur diangkat dan dirayakan secara nasional, pertanyaan penting tetap ada : apakah ini mencerminkan keadilan sosial dan kesejahteraan nyata bagi masyarakat Indonesia Timur? Lagu ini memang menjadi alat representasi identitas lokal, namun simbol pengakuan budaya tidak selalu diikuti oleh perubahan struktural yang adil.

Tulisan ini menyajikan analisis terhadap fenomena Tabola Bale. Di satu sisi, ia merayakan keberhasilan anak muda Indonesia Timur dalam membawa budaya lokal ke panggung nasional dan global melalui media sosial dan institusi kenegaraan. Ini adalah pencapaian penting dalam konteks representasi budaya, di mana suara dan ekspresi daerah yang dulu termarginalkan kini mendapat ruang yang luas.

Namun, tulisan ini juga sangat penting karena tidak berhenti pada euforia. Ia mengingatkan kita untuk tidak tertipu oleh simbolisme semata. Ini adalah poin krusial dalam komunikasi kritis bahwa perayaan budaya tidak otomatis menghapus ketimpangan ekonomi, pendidikan, atau akses terhadap pembangunan yang selama ini dirasakan oleh wilayah-wilayah seperti NTT.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun