Makna Jawa yang menggantung di bawah teks kitab, atau lebih sering disebut makna gandul turut memberi andil dalam mendorong penulis untuk terus membaca kitab. Terlebih, kalau maknanya bagus, kemudian lengkap, semakin membuat penulis tak ingin segera berhenti membaca. Maklum kini penulis lebih mengandalkan kitab yang telah ada maknanya untuk belajar hingga mengajar sebab penulis sadari selain keterbatasan kemampuan membaca penulis tidak cukup waktu untuk menelusuri makna melalui kamus.Â
Sebab itulah bisa dibilang kitab dengan kelengkapan makna, atau kitab makna pesantren menjadi andalan penulis. Menjadi alternatif yang paling dominan, selain kitab terjemah. Mengapa demikian?Â
Pertama, sebagaimana penulis sebutkan di atas kitab yang telah diberi makna, memberi kemudahan dalam menghemat waktu belajar. Sehingga tidak perlu seseorang gelisah mencari arti sebuah kata melalui kamus. Kedua, kitab yang telah dilengkapi makna menjadi pembanding atas atas pembacaan kita pada kitab kosongan--kitab tanpa makna. Ketiga, kitab yang telah diberi makna tidak jauh beda harganya dengan kitab kosongan, atau bahkan lebih murah jika kitab kosongan dicetak oleh penerbit berkelas sepeti Darul Minhaj misalnya.Â
Beberapa alasan di atas lah yang cukup mendasari penulis kini untuk lebih banyak mengoleksi kitab yang telah diberi makna dari pada kitab kosongan. Kecuali uang untuk membeli kitab sedang sulit maka ambillah kitab kosongan, asal terbeli. Bahkan jangan ditiru bagi pemula, menjelang penulis menamakan jenjang Ulya di madrasah, penulis mengaji tidak lagi memaknai kitab kosongan. Penulis hanya disibukkan menyimak dan memahami kitab yang telah ada maknanya.
Kalau dirunut ke belakang tentang kitab yang telah ada makanya, semula masyhur dikenal dariÂ
Pondok Pesantren Hidayatut Thullab (PPHT) yang berada di Dusun Petuk, Desa Puhrubuh, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Sejak tahun 1993 sudah 137 judul kitab yang diedarkan. Sehingga tidak salah jika kemudian kitab makna pesantren identik dengan kitab makna petuk atau kitab Petukkan. Sehingga meskipun kini telah diikuti jejaknya oleh beberapa pesantren seperti Kwagean, dan lain-lain.Â
Beberapa pesantren mencoba meniru langkah PPHT untuk memberi layanan kitab bermakna. Sedang PPHT sendiri tidak bisa dipisahkan dari sosok pendirinya, KH. Ahmad Yasin Asymuni. Beliaulah yang memiliki andil besar dalam memprakarsai atau merintis kitab dengan makna pesantren. Sehingga terkenal dengan kitab petuk.Â
Sependek pengetahuan penulis, setelah muncul pesantren-pesantren yang mengikuti jejak PPHT dalam hal perkitaban makna, utamanya Pondok Kwagean, menawarkan pilihan. Bahkan secara tulisan lebih mudah makna yang diproduksi pondok Kwagean ini. Di samping tulisan makannya lebih besar, cetakannya pun lebih jelas. Lain dengan makna petuk yang kian hari maknanya nampak memudar.
Di balik keunggulan kitab makna dari Kwagean tidak lantas penulis puas. Apalagi kini muncul 'pesaing' baru dari kitab-kitab yang selain dilengkapi terjemah sudah disertakan makna gandulnya, sepeti beberapa kitab yang diperjual-belikan di lingkungan Pon. Pes. Lirboyo. Tidak sedikit santri maupun ustadz pondok tersebut yang membuat gebrakan untuk memperinstan cara belajar dengan menerjemahkan beragam kitab lengkap dengan makna jawa dan terjemah Bahasa Indonesianya.Â
Memang kitab dengan kelengkapan sebagaimana tersebut di atas cenderung lebih mahal. Sekalipun begitu, tidak sedikit ustadz yang berburu kitab kategori ini karena lebih memudahkan, dan dilengkapi dengan gambar maupun tabel.Â
Demikian dinamika dan kontribusi kitab bermakna yang dapat penulis potret. Pembaca boleh jadi tidak setuju, sebab lain rambut lain pengalamannya.Â