Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menata Permukiman Pinggiran Kali di Kota Yogyakarta Berbasis Komunitas

20 November 2017   13:05 Diperbarui: 20 November 2017   13:39 1917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kawasan yang berada di pinggiran kali secara umum identik dengan lingkungan kumuh. Terlebih bilamana kawasan tersebut tidak disentuh, tidak dibenahi atau tidak ditangani secara serius maka lama kelamaan lingkungan menjadi kurang sehat dan kurang nyaman. Termasuk masyarakat yang bertempat tinggal di sekitarnya cenderung semakin tidak berdaya dan menambah jumlah kemiskinan.

Di kawasan pinggiran kali kerapkali dilanda masalah seperti luapan air kali/sungai bilamana musim pengujan tiba, banjir, becek, berlumpur, tumpukan sampah berserakan, menyebar bau kurang sedap, dan ini semua akan menjadikan sarang penyakit yang membahayakan bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitarnya.

Gambaran umum yang sudah jamak dan ditemui dimana-mana ini sepertinya kurang mendapat perhatian yang sungguh-sungguh sejak jaman dahulu (jaman orde baru hingga awal jaman reformasi) sehingga kawasan pinggiran kali cenderung termarginalkan dari sentuhan pembangunan.

Pada era pemerintahan Jokowi - JK, masalah-masalah tersebut mulai mendapat sentuhan dan menjadikan program di setiap daerah. Munculnya berbagai wacana, solidaritas dan para relawan penggerak lingkungan maupun beberapa lembaga swadaya masyarakat/LSM yang perduli -- telah membangkitkan perhatian semua pihak termasuk pemerintah pusat dan daerah yang bekerja secara lintas sektoral termasuk para pemangku kepentingan serta masyarakat lokal untuk membenahi lingkungan kumuh yang berada di setiap kota/kabupaten.

Belakangan ini sudah berlangsung program nasional yang cukup proporsional bahkan layak diapresiasi yaitu dengan sebutan "KOTAKU" (= Kota Tanpa Kumuh) sebagai program yang mulai disosialisasikan pada 27 April 2016. Program KOTAKU merupakan salah satu upaya strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya dalam percepatan penanganan permukiman kumuh dan mendukung "Gerakan 100-0-100", yaitu 100 persen akses universal air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak.

Program KOTAKU ini merupakan salah satu bagian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Sebagaimana disebutkan dalam RPJMN 2015-2019 bahwa salah satu sasaran pembangunan kawasan permukiman adalah tercapainya pengentasan permukiman kumuh perkotaan menjadi 0 (nol) hektar.

Perlu diketahui bahwa program KOTAKU dilaksanakan di 34 provinsi, yang tersebar di 269 kabupaten/kota, pada 11.067 desa/kelurahan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kumuh yang ditetapkan oleh kepala daerah masing-masing kabupaten/kota, permukiman kumuh yang berada di lokasi sasaran Program KOTAKU adalah seluas 38.431 Hektare (http://kotaku.pu.go.id)

Di kota Yogyakarta, Program KOTAKU (= Kota Tanpa Kumuh) sudah dilaksanakan sejak tahun  2016 lalu. Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) yang lokasinya berada di 4 kelurahan yaitu Gowongan, Suryatmajan, Keparakan, dan Ngampilan.

Program KOTAKU yang diawali proses penyusunan Baseline 100-0-100 di Kota Yogyakarta yang dilakukan sejak 2015 melibatkan ribuan masyarakat terdiri dari pengurus wilayah (RT/RW), relawan, pengurus BKM, LPMK maupun perangkat kelurahan yang kesemuanya terealisasi sesuai perencanaan yang telah tersusun.

Sebagai salah satu hasil kerja nyata dariProgram KOTAKU, Kampung Jogoyudan, Kelurahan Gowongan yang lokasinya berada di pinggiran Kali Code nampak sudah semakin tertata rapi, indah dan nyaman. Permukiman sudah dilengkapi fasilitas yang cukup memadai seperti IPAL, listrik (PLN), serta sumber air yang dikelola masyarakat. Bahkan akses jalan yang tadinya sangat terbatas kini sudah bisa dilalui kendaraan roda empat, Selain itu, masyarakat di kawasan ini semakin adaptif terhadap keadaan pasca bencana.

Di kawasan ini dalam sejarahnya bahwa sejak terjadi erupsi Gunung Merapi 2010, akses jalan kampung tersebut tertutup lahar dingin. Hingga tahun 2012, setiap kali turun hujan kawasan permukiman tersebut terdampak banjir dari Kali Code akibat pendangkalan material Merapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun