Dari patah hati, Bung Fiersa mampu mendaur ulang kegalauannya menjadi karya-karya yang memikat hati. Entah itu berupa buku-buku yang bisa dikenang siapa saja sampai lagu-lagu yang mampu menjadi teman di kala butuh hiburan.
Meski kenyataannya menjadi terlihat galau sering menjadi penilaian sendiri bagi orang lain seperti sering dinilai kasihan, kok ngenes dan hal-hal menyedihkan lain. Tapi tidak apa-apa, dari Fiersa Besari kita bisa bisa belajar ternyata galau adalah sumber bahan bakar berkarya yang baik.
Bukankah yang galau-galau juga lebih kalian sukai? Setidaknya itu yang saya bisa simpulkan dari konten-konten Instagram yang kini sedang saya tekuni juga, sih.
Ketika membahas soal patah hati responnya selalu lebih banyak daripada ketika saya membahas soal jatuh cinta. Entah apakah itu karena mereka tidak percaya saya sedang jatuh cinta atau memang karena lebih banyak orang merasa lebih dekat dengan patah hati yang lebih tinggi kadar galaunya? HAHA.
Jadi intinya tidak ada salahnya dengan galau, yang salah adalah ketika kita hanya buang-buang waktu dengan meratapinya saja tanpa melakukan apa-apa.
Atau justru memang sesungguhnya harus bersyukur ketika galau, karena mungkin ini cara Tuhan untuk memberikan kode-kode bahwa ada sesuatu yang harus kamu hasilkan darinya.
Hidup galau! Eh.
Salam,
Listhia H. Rahman