Mohon tunggu...
Lyfe

Negeri yang Akrab dengan Sampah, Tapi Alergi Kebersihan

24 September 2025   07:25 Diperbarui: 24 September 2025   07:41 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa negeri yang katanya kaya akan alam justru tenggelam dalam lautan sampah plastik? Apakah kita sudah begitu terbiasa hidup kotor hingga kebersihan dianggap sesuatu yang mewah?

Melalui tulisan dan metafora, F Rahardi mampu memberi gambaran permasalahan yang hingga kini belum terselesaikan, yaitu sebuah rasa takut yang tidak berfaedah dan justru merugikan karena melihat dengan lensa subyektif dan irasional. "Fobia terhadap apa pun pada akhirnya akan merugikan si penderita. Terlebih bila fobia itu terjadi secara massal dan berkepanjangan seperti di republik hantu ini." Pernyataan ini menggambarkan realita bangsa kita yang sering kali salah fokus: persoalan besar seperti sampah plastik justru dibiarkan, sementara hal-hal sepele sering dibesar-besarkan.

Artikel Rahardi juga penuh dengan metafora dan ilustrasi yang didasarkan gagasan dan pemahaman oleh penulis, yang diperkaya dengan pengalaman pribadi penulis dan sumber-sumber lain. "Di negeri ini, masyarakat tidak sekadar mudah dihinggapi fobia, tetapi juga gampang tergoda hobi yang sadis: mengurung burung seumur hidup tanpa diberi jodoh." Kritik ini terasa relevan dengan kebiasaan kita memperlakukan sampah. Alih-alih bertanggung jawab, kita seolah membiarkan plastik mengurung sungai dan lautan seumur hidup tanpa solusi nyata.

Alih-alih bertanggung jawab, kita seolah membiarkan plastik mengurung sungai dan lautan seumur hidup tanpa solusi nyata.

Kini, Indonesia sedang menghadapi masalah yang tertanam di tiap individu. Timbul sebuah ketakutan yang tidak wajar dan kepedulian yang berlebihan terhadap tujuan tiap orang, sehingga keperluan kolektif cenderung diabaikan. "Sebab, permasalahan Indonesia yang kita hadapi sudah sangat serius. Saat ini yang rusak bukan sekadar alam dan lingkungan, melainkan juga moralitas para pemimpin." Kalimat ini mengingatkan kita bahwa masalah sampah plastik bukan hanya soal lingkungan, melainkan juga soal moralitas: apakah kita masih peduli pada kebaikan bersama?

Editorial Tempo tentang pagar laut ilegal menambahkan dimensi lain pada kritik ini. Editorial ini mampu mengkritik proses penanganan yang kurang tegas dan penyelewengan hukum yang terjadi, menegaskan pentingnya sosok pemimpin yang peduli, dan menggarisbawahi pentingnya permasalahan pemasangan pagar laut ilegal. "Lemahnya proses hukum hanya menguatkan anggapan bahwa negara telah kalah di hadapan kepentingan pengusaha yang menjadi dalang praktik illegal tersebut." Bukankah hal yang sama terjadi pada sampah plastik? Regulasi ada, larangan pernah diumumkan, tapi lemahnya penegakan hukum membuat plastik sekali pakai tetap marak.

Editorial ini juga tidak hanya menyampaikan kritikan berdasarkan gagasan pribadi, tetapi telah melakukan riset yang mendalam dengan berbagai narasumber untuk menguatkan argumen. Editorial juga menyampaikan aspirasi dan solusi untuk menangani kasus. "Penelurusan Tempo dalam dua pekan terakhir mendapatkan banyak dokumen dan keterangan masyarakat yang menguatkan dugaan bahwa pemasangan pagar laut illegal sudah lama dirancang. Sejumlah perangkat desa, firma hukum, konsultan proyek, hingga kantor pertanahan setempat diduga turut serta dalam skenario tersebut." Riset mendalam semacam ini sebenarnya juga dibutuhkan untuk menelusuri jejak sampah plastik, mulai dari produsen hingga konsumen, agar masalahnya bisa diatasi secara menyeluruh, bukan sekadar simbolis.

Masalah pemasangan pagar laut ini wajib diselesaikan dan dipertanggungjawabkan dengan segera oleh Prabowo. Tidak hanya sebatas pemagaran, masalah ini dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan sosial, memungkinkan terjadinya pengulangan kasus yang serupa, lemahnya penegakan hukum, dan pemimpin negara yang tidak tegas. "Prabowo harus memastikan pengusutan tuntas kasus pagar laut illegal ini tidak berlarut-larut. Konflik sosial akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah hanya akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar bagi republik ini." Sama halnya, jika pemerintah terus setengah hati dalam mengurus sampah plastik, masyarakat akan kehilangan kepercayaan. Alih-alih bergerak bersama, publik justru makin apatis.

Budiman Tanuredjo dalam Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati mengingatkan kita pada dimensi etika. Melalui lensa penulis, terlihat adanya krisis etika di republik kita, sosok-sosok pemimpin yang haus akan jabatan dan melupakan rakyat, tidak bermoral dan tidak beretika. "Yang jadi pertanyaan, mengapa sumpah yang diucapkan itu dilupakan, mengapa landasan etika yang ditetapkan MPR tahun 2001 diabaikan?" Jika sumpah dan etika saja dilupakan, bagaimana mungkin janji menjaga lingkungan benar-benar ditegakkan?

Penulis juga menjelaskan argumen-argumen yang dimilikinya dengan dukungan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sumpah yang diucapkan DPR, dan putusan hukum yang telah ditetapkan di Indonesia, sehingga pembaca dapat merasakan realita yang sesungguhnya terjadi. "Rasanya, 23 tahun kemudian saatnya elite politik perlu berhenti sejenak, melakukan introspeksi diri apakah identifikasi MPR tahun 2001, dan enam tuntutan reformasi tahun 1998 masih relevan dengan kondisi kekinian. Rasanya belum ada perubahan signifikan." Refleksi ini bisa kita tarik ke persoalan sampah: sudah bertahun-tahun kampanye digalakkan, tetapi perubahan signifikan belum juga terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun