Mohon tunggu...
LINES
LINES Mohon Tunggu... Relawan - LDII News Network

Menulis adalah cara untuk berbagi perspektif. Saling menghargai adalah kunci untuk bertukar perspektif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengamati Prilaku Warga LDII Membumikan Pancasila

21 Agustus 2021   12:36 Diperbarui: 30 September 2021   13:58 955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi independensi.com

Oleh Singgih Tri Sulistiyono*

Saat pemerintah mencanangkan gerakan membumikan Pancasila, dengan slogan "Pancasila dalam Tindakan", pada peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2021, ternyata LDII telah memulai gerakan Pancasila 2.0 pada 2012 lalu. Dalam pandangan LDII, Pancasila 2.0 adalah mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pandemi Covid-19 menjadi ujian, sejauh mana nilai-nilai Pancasila secara sosiologis menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan sosial dan krisis moral.

Tulisan ini merupakan hasil penelitian, mengamati prilaku warga LDII dalam membumikan Pancasila. Penelitian menggunakan menggunakan mixture methodology, campuran pendekatan etic dan emic. Metode tersebut dipergunakan, karena penulis memiliki posisi ganda, yakni peneliti sekaligus pengurus DPP LDII. Pendekatan etic yakni menjelaskan fenomena sosial dari sudut pandang peneliti, atau bagaimana sang peneliti membaca realitas. Hal tersebut menempatkan peneliti harus berpikir secara objektif dan menjauhkan diri sejauh mungkin dari interfensi subjektif terhadap tineliti (objek penelitian). Dengan pendekatan etic, peneliti dapat mengintepretasi dengan hermeunetika terhadap informasi dan dokumen-dokumen mengenai tindak aktor dengan segala konteksnya, maupun teks sebagai ekspresi pikiran dari tineliti. Meskpun demikian, objektivitas tidak bisa 100 persen melalui pendekatan etic

Sementara, pendekatan emic digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial dari sudut pandang tineliti atau dalam hal ini LDII. Dengan menjadi bagian dari in-group, peneliti dapat memanfaatkan posisi tersebut untuk melakukan observasi partisipasi dan verstehen ala Max Weber. Hal tersebut dilakukan untuk mengerti makna yang mendasari dan mengintari realitas sosial dan historis tineliti.

Perpaduan antara pendekatan etic dan emic inilah yang menjadi pijakan dalam mengurai, bagaimana ormas Islam dalam hal ini LDII memiliki perhatian yang besar dalam membumikan Pancasila – yang dieskplor oleh pemeritah dalam peringatan Hari Pancasila dengan jargon “Pancasila Sebagai Tindakan”. Dengan demikian, hasil penelitian ini merupakan hasil pembacaan peneliti terhadap cara LDII membumikan Pancasila.

Dengan mixture methodology, penelitian ini menggunakan empat parameter untuk mengukur langkah-langkah LDII dalam membumikan Pancasila, yaitu: 1) Aspek legal formal, yakni sejauh mana Pancasila menjadi asas organisasi. 2) Bagaimana sumbangan pemikiran LDII terhadap Pancasila. 3) Bagaimana program organisasi itu, memberikan kontribusi yang nyata kepada masyarakat bangsa dan negara. 4) Bagaimana pemikiran-pemikiran kebangsaan dari LDII. Sebagai catatan, poin empat ini penting, karena masalah dakwah menjadi makanan sehari-hari ormas Islam, namun pemikiran kebangsaan perlu mendapat perhatian yang serius.  

Sejarah Peran Ormas

Dalam konteks sejarah Indonesia, ormas memiliki sikap voluteerism atau kesukarelaan yang sangat tinggi. Meskipun negara tidak memberikan anggaran untuk berbagai kegiatan, namun mereka memiliki idealisme yang tinggi untuk melayani masyarakat. Pada masa kolonial, jangan memberikan anggaran, pemerinah Hindia Belanda saat itu justru memusuhi ormas. Sifat kesukarelaan ormas tidak berubah dari era kolonial hingga Indonesia merdeka. Ormas berperan aktif dalam melayani warga, agar terbentuk masyarakat makmur, sejahtera, adil, damai, dan toleran.

Ormas-ormas tersebut, tidak dapat disangkal telah berperan membangun civil society. Jauh sebelum Republik Indonesia lahir, ormas Islam telah bergerak menanamkan nasionalisme, seperti Syarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Al Irsyad, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Al Khoiriyah, Persyarikatan Ulama Indonesia (PUI), Al Hidayatul Islamiyah, Persatuan Islam (Persis), Nahdhlotul Wathan, dan lain-lain. Juga ada ormas nonkeagamaan seperti Budi Utomo, Paguyuban Pasundan, dan sebagainya. Selain ormas Islam, umat agama lain juga menghimpun diri dalam ormas seperti Perkumpulan Pemuda Kristen, dan lain-lain. Bahkan tokoh-tokoh dari ormas juga mengambil peran aktif dalam kelahiran Pancasila dan NKRI dalam berbagai sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Ormas-ormas Islam itu berperan sangat penting, bahkan mereka berani melawan rezim kolonial. Mereka menyadari kolonialisme yang menjadi sumber dominasi politik, monopoli ekonomi, dan hegemoni kultural menyebabkan terjadinya penindasan, pemerasan, pelanggaran moral, penghinaan, pelecehan, pembodohan, dan sebagainya. Bahkan, dulu ada kolam renang dan gedung-gedung sosialita milik bangsa Eropa yang memiliki plakat bertuliskan anjing dan pribumi dilarang masuk. Hal itu menunjukkan kolonial memandang rendah bangsa Indonesia. Mereka membangun hegemoni kultural bahwa inlander memiliki posisi rendah dalam masyarakat. Hegemoni tersebut berusaha dilawan oleh ormas, dengan semangat nasionalisme dan patriotisme. Ormas-ormas Islam tersebut memiliki serta altruisme, yakni rela berkorban untuk kepentingan umum, mewujudkan kesejahteraan, untuk mewujudkan keadilan, kemakmuran, moral keagamaan, harga diri, dan sebagainya. Mereka mewujudkan semangat itu melalui kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan, dan agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun