Mohon tunggu...
linda lydia
linda lydia Mohon Tunggu... -

Saya adalah mahasiswa universitas hasanuddin, fakultas hukum

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sekuntum Melati untuk Colliq Pujie dan RA Kartini

22 Desember 2011   08:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:54 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika, Colliq Pujie mengatakan :

Ininnawakku muwita,( Lihatlah keadaan bathinku)
Mau natuddu’ solo’,( Walaupun dihempas arus deras -kesusahan)
Mola linrung muwa (Namun aku masih tetap mampu berdiri tegar)

maka, RA Kartini juga mengatakan :

Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang)

Keduanya merupakan inspirasi para wanita (baca:Ibu) saat ini. Tentu saja ibu yang inspiratif bagi bangsa, ibu yang pantas dilambangkan melalui Sekuntum melati, lambang kasih nan suci. Ehm sangat indah bukan, melati yang harum mewangi sepanjang hari sebagai lambang kasih nan suci. Ya, lambang Hari Ibu adalah setangkai bunga melati dengan kuntumnya. Secara pasti tidak tahu sejarah kenapa melati dijadikan lambang Hari Ibu.

Peringatan Hari Ibu dimaksudkan untuk senantiasa mengingatkan seluruh rakyat Indonesia terutama generasi muda akan makna Hari Ibu sebagai ”hari kebangkitan serta persatuan dan kesatuan perjuangan kaum perempuan yang tidak terpisahkan dari kebnagkitan perjuangan bangsa”. Untuk itu perlu diwarisi api semangat juang guna senantiasa mempertebal tekad untuk melanjutkan perjuangan nasional menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Lambang tersebut digunakan untuk menggambarkan 3 hal: Kasih sayang kodrati antara ibu dan anak; Kekuatan, kesucian antara ibu dan pengorbanan anak; Kesadaran wanita untuk menggalang kesatuan dan persatuan, keikhlasan bakti dalam pembangunan bangsa dan negara.

Sekuntum melati (melalui tulisan ini J) saya dengan sedalam-dalam hormat mempersembahkannya untuk kedua tokoh wanita kebanggaan saya. Bagaimana tidak, keduanya merupakan ibu yang representatif untuk ketiga hal tersebut di atas.

Colliq Pujie adalah pengarang dan intelektual perempuan yang lahir pada abad 19 di Sulawesi Selatan. Dia adalah Seorang sejarahwan, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuan dan pemahamannya dibuktikan saat perempuan beranak tiga ini misalnya menuliskan Sejarah Kerajaan Tanete. Kecerdasan Arung Pancana Toa juga menghantarkannya menciptakan huruf Bilang-bilang yang kemudian dijadikannya alat komunikasi rahasia dengan para pengikut dan sekutunya dalam upayanya menentang pendudukan Belanda di Tanah BugisSalah satu ikon yang sangat terkait erat dengan Arung Pancana ini adalah karya sastra La Galigo. Entah apa yang ada di benak Colliq Pujie ketika dia menyetujui permintaan B.F. Matthes, seorang missionaris Belanda, untuk menyalin kembali epos besar Bugis La Galigo tersebut. Nyatanya, salinan ulang tersebut lebih dari seratus tahun kemudian masih terus mencengangkan dunia. Tidak hanya panjang epos yang melebihi Mahabharata ini yang dikulik ahli dari beberapa negara. Colliq Pujie-pun menjadi subyek perbincangan dan penelitian.

Colliq Puji, ibu yang beranak tiga ini memiliki banyak kemampuan. Kecerdasan emosional dalam memilah persoalan dan mengambil keputusan misalnya, begitu nampak saat cucu Syahbandar terkaya di Sulawesi Selatan tersebut bisa menyikapi “si kulit putih” (Tau Pute) pada saat yang tepat. Sikapnya tegas dan menunjukkan perlawanan ketika dia melihat Belanda sebagai pihak yang dengan berbagai cara menguasai masyarakat, adat dan tanah Bugis. Namun, dia juga menunjukkan sikap positif saat dia menyetujui permintaan B.F. Matthes, seorang misionaris Belanda, untuk menyalin kembali dengan tulisan tangan naskah La Galigo yang tersebar di banyak lontaraq.

Sedangkan RA Kartini, anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).

Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Woow, kedua tokoh tersebut benar-benar inspiratif…. Masih adakah yang seperti mereka saat ini ? semoga saja masih ada… setidaknya, dapat memberi curahan kasih sayang bagi anak tercinta, penerus generasi bangsa, sehingga pantas mendapatkan sekuntum bunga melati… saya pun saat ini hanya baru dapat berusaha memenuhi satu unsur dari lambang sekuntum melati tersebut…J… semoga… Wassalam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun