Mohon tunggu...
Herlina Butar
Herlina Butar Mohon Tunggu... Administrasi - LKPPI Lintas Kajian Pemerhati Pembangunan Indonesia

Cuma orang yang suka menulis saja. Mau bagus kek, jelek kek tulisannya. Yang penting menulis. Di kritik juga boleh kok. Biar tahu kekurangan....

Selanjutnya

Tutup

Nature

Jakarta 484 Tahun: Pulomas, Surga yang Hilang….

5 Juli 2011   17:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:54 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pulomas menjelang tahun delapan puluhan, masa kecil dulu. Ada tempat indah. Pacuan kuda Pulomas. Dataran hijau berselimutkan rumput tebal. Liar bukan ditanam. Tanah tidak rata, bersusun berkontur. Kilapan-kilapan embun pagi menjadi asesori. Serasa berada di lembah surga.

Tempat para keluarga sederhana menghabiskan sore-sore bercengkerama. Berlomba berguling bersama. Hadiah berondong jagung buat sang juara. Belajar motor vespa. Jatuh terguling luka. Terbasuh sisa embun menyapa. Belajar berani menyanyi di radio Kamajaya.

Deretan panjang istal kuda. Flamboyan hijau gagah lebat merah berbunga. Guru tempat belajar memanjat pohon. Pulang kerumah bersama iringan. cemara-cemara tinggi menjulang. Mozaik hijau, merah, coklat, biru dan putin awan.

Tahun delapan puluhan. Ujung jalan menuju Ahmad Yani, dekat kantor Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ria-Rio, sebuah danau besar dan Indah. Membentang bening. Menantang hening. Tempat kerap duduk memancing. Duduk sambil memandangi motor-mobil jalan beriring. Ikan mujair, betok, lele, belut dan ular sawah menyapa. Saling berenang menganga. Mencari udara di sela air. Bahkan ada mitos, di danau itu ada buaya putih. Menjadi penguasa jagad danau. Para keluarga kecil itu tidak pernah takut. Mitos itu tercipta sebagai cara alam untuk menjaga habitatnya.

Di tengah-tengah Pacuan kuda ada juga danau lebih kecil. Air bening dihiasi rerumputan yang tumbuh berdiridi sela-sela air. Siang mengjelang sore, banyak anak umur delapan tahunan bermain. Berenang, berlari dan mencari udang. Pukul lima anak-anak itu pulang dengan sekantung plastik udang bening kecil-kecil. Kini terurug tertutup. Berganti dengan barisan bangunan setengah jadi yang tidak jelas.

Belum lagi danau kecil yang sudah tidak kelihatan lagi bekasnya. Berganti dengan gedung sombong menjulang tinggi. Apartemen mewah dan gagah. Apartemen Pasadenia. Kini, semua tinggal legenda. Tiada buaya putih raja diraja. Tiada kerajaan rawa. Saat memandang keindahan delapan puluhan dulu. Yang tersisa hanyalah himpitan deret rumah kumuh. Berdampingan dengan Real Estate angkuh. Sedikit-demi sedikit urug dan dikurangi. Danauku musnah tiada lagi.

Kini, keindahan itu hanya tinggal cerita. Danau Pacuan Kuda dan danau di tengah Pasadenia sudah tidak ada lagi. Pohon cemara itu meranggas. Hanya tersisa sedikit danau Ria-rio. Danau yang dulu memiliki luas lebih dari sembilan hektar, kini kurang dari lima hektar. Warna airnya yang hitam pekat. Bau tidak sedap menyeruak menusuk hidung.

Duduk di pinggir danau, berarti menahan bau busuk sampah yang terus mengotori sisa danau. Memandangi kesombongan kontradiksi Jakarta. Memandang sebelah kiri berarti kiri berbaris gagah gedung GUDANG GARAM berdampingan dengan oranye hijau apartemen Cempaka. Berhimpitan dengan pertokoan Cempaka Mas. Melintang megah jalan tol dari Tanjung Priuk menuju Cawang. Gambaran megapolitan Jakarta.

[caption id="attachment_117769" align="aligncenter" width="300" caption="Gedung Cempaka Mas angkuh megah bersanding dengan kawasan kumuh miskin. Kontradiktif Jakarta."]

1309887600364816687
1309887600364816687
[/caption]

Di sebelah kanan berdesakan rumah-rumah setengah permanen. Mungkin sebutan gubug-gubug liar lebih tepat. Terbuat dari bambu, kayu, kardus dan plastik. Rumah berdesakan, berhimpit miring. Seakan baru saja tertiup angin. Dihiasi tumpukan sampah pemulung. Anak-anak kecil kurus berlarian tanpa memakai celana. Pada pinggiran danau berdiri gubug-gubug kayu tertutup kardus dan triplek. Menjorok sedikit di atas permukaan danau. Disitulah tempat para penghuni lokasi untuk membuka anjungan akhir pembuangan.

[caption id="attachment_117768" align="aligncenter" width="300" caption="9 Hektar danau, tinggal separuh. Berubah menjadi daratan tempat deretan rumah kumuh miring seperti habis tertiup angin"]

1309887183204933953
1309887183204933953
[/caption]

Saat air turun dari langit, tiada tempat mereka berkumpul. Mereka berjalan mengelilingi jalan-jalan kecil di depan rumah penduduk. Mereka berjalan mengalir mencari danau itu. Karena tiada lagi, merekapun protes. Kemarahan air tertumpah pada masyarakat yang tinggal di sekitar Pulomas. setiap hujan deras, Pulomas selalu kebanjiran.

Saat musim kemarau, tiada lagi cadangan air bagi penduduk. Air PAM mengalir sangat kecil. Malah kadang tidak keluar sama sekali. Air lautasin terus menerobos menembus rongga darat yang kosong. Intrusi air laut meluas jauh ke tengah darat.(lina)

Danau, penampung air pencegah banjir.

Keberadaan danau, dimanapun tak pelak lagi merupakan sebuah kebutuhan sebuah areal. Tempat berkumpulnya air mengalir dari segala penjuru angin. Wadah alam sebagai penampung air hujan dengan daya tampung fleksibel. Lumpur dan rongga-rongga tanah merupakan sarana kantung penyimpan cadangan air.

Pada saat musim hujan, keberadaan kantung-kantung air yang disediakan oleh alam merupakan solusi penampung melimpahnya air. Air tertampung tersimpan sebagai cadangan. Tempat reptile, ikan dan tanaman air membentuk habitat. Ikan dan reptile memberikan nutrisi bagi tanaman air untuk tumbuh subur. Tanaman air memberikan supply oksigen bagi kebutuhan oksigen ikan dan reptile (BOD=Biologycal Oksigen Demand). Semua membentuk koloni. Komunitas simbiosis kehidupan yang saling menunjang, saling menghidupi dan saling menguntungkan. Pada saat musim kemarau volume air danau akan berkurang. Air danau menjadi lebih tenang. Lebih bening. Memberi kesempatan ikan untuk bertelur. Memenuhi permukaan danau.

Pada saat musim kemarau, cadangan air yang tersimpan di kantung-kantung penyimpan air tetap terjaga. Mengisi rongga tanah agar tidak kering. Menahan serbuan intrusi air laut jauh ke darat. Menjamin ketersediaan air tanah bagi lingkungan di sekitarnya.

Data Peta Hijau menunjukkan ada 52 situ yang mereka survey. Dari 52 situ yang ada, hanya tersisa 10 situ yang masih dianggap layak. Sebagian dari situ telah tertutup hilang. Berganti dengan daratan dan bangunan pemukiman. Sebagian lagi tidak terurus, jorok, kumuh dan berbau tidak sedap. Kini, masyarakat harus mampu menuntut Pemerintah kota Jakarta.Banjir tidak tercipta dengan sendirinya. Air berlebihan itu tercipta oleh keadaan memaksa. Air berkumpul di tempat yang tidak seharusnya. Mereka mengalir menggenangi pemukiman penduduk. Mereka terpaksa. Karena tempat buat mereka telah dirampas dengan dalih pembangunan kota.

Hingga pada saat berita ini diturunkan, belum ada keseriusan dari pemerintah propinsi DKI Jakarta untuk menyusun kembali Perda nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta. Bahkan, dengan anggaran Rp. 3.939.199.755.063 Dinas Tata Ruang propinsi sampai hari ini belum dapat merealisasikan detail mapping menurut keadaan Jakarta sekarang. Padahal bila kita merunut perencanaan Tata Ruang Wilayah, pemetaan adalah hal yang sangat diperlukan. Dengan pemetaan ini, pemerintah mampu menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah yang berintegrasi dengan keadaan geografi, penduduk dan rencana Tata Ruang DKI Jakarta di masa depan.(lintasrakyat)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun