Mohon tunggu...
lilo marcelinus
lilo marcelinus Mohon Tunggu... Guru - Un Solo Dios Basta

Selamat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Antar Budaya dan Kewarganegaraan di Setiap Komunitas Manusia Untuk Menyikapi Kultur Hegemoni

26 Januari 2021   19:50 Diperbarui: 26 Januari 2021   20:03 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PENDIDIKAN ANTAR BUDAYA DAN KEWARGANEGARAAN DI SETIAP KOMUNITAS MANUSIA ( SEKOLAH ) UNTUK MENYIKAPI KULTUR HEGEMONI DALAM KONTEKS KEBUDAYAAN KOSMOPOLITAN SAAT INI

Pendahuluan

Oleh Fr. Marcelinus Lilo, MSC

Meminjam kata Bambang Sugiharto seperti yang dilansir dalam bukunya berjudul "Kebudayaan dan  kondisi Post-Tradisi" terbitan PT. Kanisius, 2019, hlm. 83, "Kosmopolitanisme tidak harus berarti bahwa seseorang tidak memiliki tanah air melainkan bahwa seseorang memiliki jarak refleksif terhadap negerinya." Dia menambahkan, "Keutamaan kosmopolitan  mengandaikan dimilikinya "ironi Sokratik"  dalam arti untuk memahami budaya lain diperlukan sikap berjarak dan kritis terhadap budaya kita sendiri. Ironi kosmopolitan adalah sikap toleran terhadap yang lain akibat ketidakpastian  atas otoritas  posisi budaya kita sendiri, seperti yang disiratkan dalam pemikiran pragmatis Dewey dan Rorty. Refleksivitas ironis ini pada gilirannya membuat kita tak pernah bisa yakin dan pasti atas 'vokubulari utama" atau kaidah universal yang bisa kita gunakan untuk menghakimi budaya lain." Prospek kosmopolitanisme tergantung pada sejauh mana interaksi antarbudaya bisa saling terbuka, karena bisa saja yang terjadi justru saling membentengi diri. Faktanya kini, hospitalitas tanggung jawab dan reflektivitas  sebagai wujud keterbukaan tampaknya justru semakin sulit terutama akibat gejala terorisme global, radikalisme, separatisme. Reaksi yang muncul sejak peristiwa 11 September 2001 (serangan Alqaeda atas World Trade Centre, New York) hingga kini adalah justru semakin menguatnya  dominasi negara-negara adikuasa, misalnya dengan kecenderungan mereka untuk mendesakkan keadaan darurat secara permanen. Itu berarti berkembangnya militerisasi pada skala global, yang justru akan  memperkokoh batas-batas teritorial, identitas kultural dan regulasi ketat keimigrasian. Dengan begitu kosmopolis justru terancam jatuh menjadi "khaosmopolis". Dalam situasi seperti itu keutamaan etik di atas hanya akan berjalan efektif dan realistis bila diolah ke dalam kebijakan-kebijakan politis global." 

Perjuangan antara identitas diri sendiri dan yang berasal dari sistem transnasional dan trans internasional yang tersebar, saling terkait, dan saling bergantung tampaknya menjadi ciri khas skenario di era baru sebagai akibat dari globalisasi. Dalam konteks ketegangan ini, salah satu tantangan besar aksi pendidikan seharusnya adalah penciptaan kewarganegaraan sebagai wilayah partisipasi, untuk mendamaikan identitas budaya dan keragaman paham kosmopolitanisme. Artinya, sekolah harus mempromosikan "kewarganegaraan antar budaya", yang tidak lain adalah kewarganegaraan yang sejalan dengan demokrasi pluralis yang mencakup keragaman budaya. Ini mengandaikan pengakuan yang sama timbal balik dari semua subjek hak, mampu partisipasi politik yang menyatu di ruang publik sebagai ruang setiap orang di mana institusi demokrasi condong. Salah satu syarat dasar pendidikan antar budaya adalah bahwa semua proses harus dikontekstualisasikan dan dielaborasi bersama dengan semua pelaku. Dengan demikian, pendidikan antarbudaya tidak hanya harus tercermin di tempat-tempat dengan kehadiran siswa dari asal atau kepekaan yang beragam, tetapi juga harus menjadi kebutuhan penting, menghindari homogenisasi budaya dalam prosesnya. Nah, tugas besar generasi baru seharusnya belajar hidup tidak hanya di dunia teknologi yang terus berubah, tetapi juga mampu, pada saat yang sama, memelihara dan memperbarui budaya lokal kita; selain kritis terhadap keyakinan dan cara hidup sendiri.

Kata kunci: interkulturalitas; pendidikan; kewarganegaraan; identitas; perbedaan.

                Tidak seperti sebelumnya, ruang nasional Indonesia tampak dilintasi oleh ketegangan ganda. Di satu sisi, yang berasal dari proses konstitusi global pada umumnya, berpegang teguh pada gagasan imperialisme, dan di sisi lain yang menolak untuk mengakui bahwa fase baru kapitalisme sedang muncul yang ditandai dengan perubahan fungsi yang mendalam. Negara Indonesia secara tradisional masih adanya ketergantungan dengan negara-negara adidaya dan yang pengaruhnya dirasakan dalam arti ketergantungan. Dalam konteks transformasi kapitalisme ini "perjuangan untuk identitasnya sendiri dalam sistem transnasional yang tersebar, saling terkait secara kompleks, dan saling menembus" secara diametral berbeda dari apa yang dimaksudkannya di masa lalu, itu adalah pertempuran frontal dengan kekuatan yang ditentukan secara geografis.

Dalam skenario baru yang dipaksakan oleh globalisasi, identitas kolektif tidak lagi menjadi ekspresi murni budaya atau strategi politik belaka; Dengan demikian, identitas budaya tidak substansial melainkan konfigurasi historis, yang memberi makna dan makna bagi kehidupan kelompok sosial. Sekolah dalam konteks ini harus mengizinkan masuknya budaya, mengakui identitas sebagai hak. Pengertian dengan identitas: "hubungan dialektis antara individu dan orang lain, atau antara individu atau masyarakat", di berbagai tingkatan. Selanjutnya, aksi pendidikan harus mendorong terciptanya kewarganegaraan sebagai wilayah partisipasi, timbal balik, dan solidaritas bersama. Memadukan dialektika antara identitas budaya dan keragaman merupakan masalah utama yang harus diselesaikan mengingat menghindari posisi ekstrim yang dapat mengarah pada sikap yang dekat dengan etnosentrisme.

Untuk menghindari yang terakhir, sekolah harus mempromosikan "kewarganegaraan antar budaya", yang tidak lain adalah kewarganegaraan yang konsisten dengan demokrasi pluralis yang mencakup keragaman budaya. Ini mengandaikan pengakuan yang sama timbal balik dari semua subjek hak yang mampu berpartisipasi politik. Pada gilirannya, konsep ini memerlukan asumsi bersama, dari tradisi asal dan komunitas yang berbeda tentang nilai-nilai demokrasi, dan pertemuan di ruang publik sebagai ruang setiap orang di mana institusi demokrasi condong. Dalam pengertian ini, tidak dapat diabaikan bahwa identitas warga negara modernitas, yang dibangun dari homogenisasi, tidak hanya terkikis kuat oleh interpelasi yang menjadi objeknya, tetapi artikulasinya dari perspektif integrasi rumit. Misi yang secara tradisional ditugaskan ke sekolah adalah untuk menciptakan kelompok yang berbagi nilai-nilai yang sama di atas kekhasan mereka; artinya, membentuk warga negara yang homogen. Hal yang sama juga dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan gagasan bangsa, yang tidak lebih dari cara mengintegrasikan semua individu dalam kehidupan komunitas politik, yang karenanya harus mengabaikan kekhasan anggotanya. Dengan kata lain, Warisan sekolah modern adalah pembentukan kewarganegaraan yang didasarkan pada sosialisasi nilai-nilai bersama dan universal, dengan mengabaikan kekhususan berbagai kelompok yang membentuk bangsa. Terlebih lagi, konstruksi semacam itu berfungsi untuk kelompok yang dominan secara sosial.

Saat ini, karena pluralisme, suatu kondisi kebebasan esensial dalam masyarakat sipil yang sangat demokratis, sekolah perlu dirumuskan kembali, agar fungsi tradisionalnya sesuai dengan pengakuan perbedaan masing-masing kelompok atau dengan konteks lokal. Tantangan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengkonstruksi "budaya" tersebut sedemikian rupa sehingga tidak menyangkal identitas budaya primer atau dipindahkan ke ruang privat dan, pada saat yang sama, penegasannya tidak membuat budaya bersama menjadi tidak mungkin. Tak kalah menjadi tantangan jika konflik kepentingan dan kekuatan yang memperjuangkan disintegrasi sistem diperhitungkan. Intinya adalah bahwa kelalaian yang tidak terlihat atau direncanakan, di satu sisi, dan eksaserbasi  partikularitas, di sisi lain.

Pengakuan, penilaian dan penyertaan kekhususan harus menjadi kebalikan yang diperlukan dari proyek nasional yang diperluas yang dimainkan di sekolah Seluruh kawasan Indonesia kontemporer sebagai ruang warga negara untuk negosiasi representasi dan pelaksanaan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun