Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak Milenial Masih Butuh "Dongeng Sebelum Tidur"?

6 Januari 2019   19:56 Diperbarui: 19 Maret 2020   19:47 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.kidsemotion.com

Jauh di masa kecil saya dulu, almarhum bapak saya punya kebiasaan mendongeng untuk anak-anaknya. Puluhan tahun kemudian, ketika status sebagai orangtua melekat pada diri saya, perlukah saya melanjutkan tradisi mendongeng bagi anak-anak saya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan menerawang ke masa silam. Kala itu, ketika waktu tidur sudah menjelang, biasanya kami telah bersiap diri. Kakak saya berbaring di sebelah kanan bapak, saya dan adik di sebelah kiri. Bisa juga dengan beberapa variasi posisi lainnya. Namun yang pasti, bapak selalu berada di tengah, di antara saya dan saudara-saudara saya.

Bila semua telah pada kedudukan masing-masing, maka "layar" segera dibentangkan. Dongeng pun mulai berkumandang. Dan kami, anak-anak bapak, akan menyimak dengan tenang.

Bapak saya mempunyai beberapa stok dongeng tradisional. Sebagian besar masih saya ingat, diantaranya cerita si Kancil mencuri ketimun, kisah Timun Emas, cerita tentang seorang anak perempuan yang diculik raksasa jahat, dan cerita pertarungan harimau dengan kerbau petani.

Perbendaharaan dongeng beliau tidak banyak, mungkin hanya lima atau enam cerita saja. Sebagian dari dongeng koleksi bapak sangat familiar karena di kemudian hari saya temukan terserak di banyak buku kumpulan cerita anak. Namun sebagian dongeng bapak yang lain, entah di mana beliau menemukannya.

Dengan koleksi dongeng yang demikian tipis, frekuensi beliau menceritakan sebuah dongeng menjadi sangat tinggi. Bayangkan, dengan berbekal jumlah dongeng yang tak melebihi jumlah jari di kedua tangan, beliau harus menceritakannya kepada kami hampir tiap malam selama beberapa tahun.

Tentu saja kami jadi hafal betul jalan ceritanya, dari mula hingga tamat. Bukan hanya alur ceritanya, tetapi dialog-dialognya pun sudah melekat erat di kepala kami. Jadi, tidak ada lagi rasa penasaran akan akhir kisah yang diceritakan bapak.

Anehnya, frekuensi dongeng yang demikian tinggi tidak membuat kami merasa jemu mendengarkannya. Dan, alur cerita dan dialog yang telah kami hafal tidak membuat kami kehilangan selera untuk terus menyimak.

Bahkan ketika sesekali bapak keluar dari alur yang semestinya dan terkesan ngaco karena beliau tak kuat menahan kantuk, kami akan menyenggol-nyenggol badan beliau agar beliau tersadar dan kembali ke jalur yang benar.

Jika sesekali bapak tidak sempat menggelar ritual dongengnya, maka malam kami menjadi malam yang tidak sempurna. Bagi kami, dongeng sebelum tidur telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan laiknya mandi dan makan.

Nah, ketika peran sebagai orang tua telah tersandang di bahu saya, saya merasakan bahwa tradisi itu telah menjadi salah satu wujud warisan berharga peninggalan orang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun