Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membikin Anak Keranjingan Membaca (Bag 2)

20 Mei 2018   08:06 Diperbarui: 20 Mei 2018   08:47 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti yang sudah saya sampaikan pada bagian pertama, Jennings berpendapat bahwa membacakan buku untuk anak adalah hubungan cinta sepanjang hayat. Ya betul, saya meyakini kalimat itu benar adanya. Rasanya saya bisa membuktikannya.

Adalah Bapak saya yang---mungkin tanpa sengaja---mempraktekkan teori Jennings itu. Satu hal yang selalu saya ingat dari almarhum Bapak saya adalah dongeng "Kerbau Sadiman",  "Kancil Nyolong Timun" dan beberapa dongeng tradisional lainnya. Saya selalu antusias menyimak dongeng-dongeng menjelang tidur yang diceritakan Bapak. Begitulah cara orang tua zaman lampau mengungkapkan rasa cinta untuk anak-anak mereka. Di luar cara menyampaikan dan isi cerita, saya selalu menyimpan kenangan indah akan kedekatan orang tua dan anak dalam ritual itu, hingga akhir hayat mendiang Bapak saya.

Saat Praktik Telah Tiba

Langkah berikutnya adalah tahap mempraktikkan ilmu yang telah kami himpun. Kami tidak bisa menerapkan seluruh "nasehat" yang mereka ajarkan. Sebagian dari point yang mereka sampaikan kurang sesuai dengan keyakinan kami. Sebagian yang lain karena tingkat disiplin yang belum bisa kami tegakkan sepenuhnya. Dan beberapa alasan lain.

Bentuk pengakraban yang kami terapkan adalah kami membacakan buku kepada anak-anak, utamanya menjelang mereka tidur. Tradisi pembacaan buku kami lakukan semenjak anak-anak belum mencapai usia setahun. Sampai kini ritual itu masih berlanjut. Anak terkecil kami yang masih di awal sekolah dasar terlihat sangat menikmati ritual ini, seperti kakak-kakaknya dulu. Sesekali anak remaja kami pun tidak menolak tradisi masa kecil mereka, dibacakan buku.

Mulanya kami masih mengikuti teori Leonhardt, membacakan nyaris buku apa saja, baik pengetahuan maupun buku-buku cerita dan dongeng. Ini terjadi pada anak-anak kami yang kini telah beranjak remaja.

Namun seiring ilmu yang semakin banyak kami peroleh dari berbagai sumber, kami semakin selektif memilih bacaan anak. Meskipun kebiasaan membaca itu amat penting, namun kini kami lebih waspada terhadap potensi bacaan yang bisa membahayakan jiwa anak. Anak bungsu kami yang masih usia sekolah dasar nampaknya lebih terjaga dari bahaya polusi bacaan yang kurang berkarakter.

Koleksi bacaan anak di rak buku kami mulai jenis buku "Halo Balita" dengan ketebalan kertas tiga milimeter yang 'anti gigit' hingga novel remaja "Khalid bin Walid" setebal 620 halaman. Sebagian koleksi buku yang telah mengiringi pertumbuhan anak-anak sejak zaman mereka masih menggigit buku hingga menjelang masa remaja mereka, kini lapuk termakan usia dan sebagian lainnya hilang entah ke mana. Beberapa juga telah diwariskan kepada adik-adik sepupu anak-anak.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Rumah Bertabur Buku

Berikutnya, kami coba ciptakan suasana rumah bertabur buku. Memang kami tidak pernah mengalokasikan anggaran tertentu untuk belanja buku. Namun begitu, kami tetap bisa mengumpulkan buku lumayan banyak.

Jika tidak ada kegiatan lain yang super penting, kami tak kan melewatkan pameran buku yang diselenggarakan di kota kami. Dalam setiap momen semacam ini, biasanya kami bisa membawa pulang buku antara sepuluh hingga dua puluh biji. Jika tiada pameran, sedikitnya sekali dalam sebulan kami datangi toko buku. Dari toko, paling banter dua atau tiga atau empat buku yang akan menambah koleksi kami. Maklum, harga buku tidaklah murah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun