Perempuan setengah baya itu berambut pendek, bertampang tegas meskipun seringkali melempar senyuman ramah. Ia kini duduk sebagai wakil rakyat di DPR RI Senayan. Tak dinyana ia juga adalah seorang dokter.
Nama lengkapnya adalah Ribka Tjiptaning Proletariyati, seorang anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Orang di sekitarnya biasa menyapanya dengan sebutan "Mbak Ning".
Perjalanan hidup Mbak Ning di masa kecil sangat memprihatinkan. Padahal, ia terlahir dari keluarga ningrat Jawa sekaligus konglomerat yang harusnya hidup berkecukupan dan diperlakukan dengan baik oleh orang lain.
Mbak Ning merupakan anak ketiga dari lima bersaudara yang dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, pada 1 Juni 1959. Ayahnya bernama Raden Mas Soeripto Tjondro Saputro adalah seorang keturunan Kasunanan Solo (Pakubuwono) dan ibunya bernama Bandoro Raden Ayu Lastri Suyati adalah  keturunan Kasultanan Kraton Yogyakarta.
Ayahnya adalah seorang konglomerat yang memiliki lima pabrik besar dan ibunya adalah seorang guru TK sekaligus penjual celana dalam di pasar Klewer.
Pada saat Mbak Ning duduk di TK kelas Nol Besar, terjadi peristiwa G30SPKI. Saat itu ibunya sedang hamil dan ayahnya tidak kunjung pulang ke rumah.
Di akhir tahun 1965 ibunya tiba-tiba memboyong Mbak Ning dan saudara-saudaranya pergi dari rumah mereka di Solo. Ibunya bilang mereka akan diajak ke Yogyakarta tapi justru dibawa ke kereta menuju Jakarta.
Sampai di stasiun Gambir, Jakarta, koper-koper berisi pakaian dan barang berharga mereka hilang. Mbak Ning, Ibu dan saudara-saudaranya kemudian ditampung oleh Harman, anggota Tjakrabirawa, pasukan pengamanan presiden saat itu.
Karena situasi tidak aman dan ibunda Mbak Ning masuk daftar pencarian orang, mereka pun berpindah lagi ke tempat berlindung lainnya. Mereka pun dipisahkan satu sama lain. Mbak Ning Bersama kakak yang pertama dititipkan kepada seseorang bernama Mayor Nandika di daerah Pondok Gede, Jakarta Timur. Sementara itu, ibunya Bersama kakaknya yang nomor dua dan adik bungsunya pindah ke rumah keluarga lain.
Kakak beliau merasa tidak betah tinggal di rumah keluarga yang mereka tempati dan mengajak beliau pergi mencari sang ibu. Mereka hanya berbekal lima buah salak dan berjalan kaki sampai terminal Cililitan. Nasib baik bagi mereka, di terminal itu Mbak Ning melihat orang yang pernah bertemu bapaknya di rumah mereka di Solo. Mbak Ning pun memanggil sang bapak dengan panggilan Om. Bapak itu lalu segera membawa Mbak Ning dan kakaknya sambil meminta mereka untuk diam.
Mbak Ning dibawa ke Cawang. Pada tengah malam di rumah teman ayahnya itu, Mbak Ning melihat sang ayah datang dan hanya bisa menemuinya sebentar saja.