Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nyepi di Bali, "Lockdown" di Banyak Negara di Dunia, dan Anomali Perubahan Iklim

25 Maret 2020   19:59 Diperbarui: 26 Maret 2020   06:44 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Upacara Melasti Tanpa Ogoh Ogoh ( Kompas Regional, Getty Image)

Diestimasikan, konsumsi Cina atas batubaru menurun selama periode 3 minggu Lockdown dari 900.000 m3 per hari menjadi 300.000 m3 perhari. Permintaan besi dan minyak juga menurun. Penerbangan menurun sekitar 13.000 frekuensi per harinya. Secara umum, New York Times memperkirakan bahwa kegiatan di industri utama menuruan sebanyak 15% (Newyorktimes.com, 26 Februari 2020).

Memang, para akhli belum bisa memiliki satu suara untuk melihat kaitan virus Corona dengan perubahan iklim. 

Secara umum para ajli sependapat bahwa wabah menurunkan pelepasan emisi karbon dalam jangka pendek. Namun, adanya wabah ini akan juga menyebabkan negara negara makin sulit untuk menerapkan ekonomi yang ramah lingkungan karena pertumbuhan ekonomi akan digenjot habis habisan untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dan juga biaya biaya yang dikeluarkan.

Juga, alokasi dan realokasi anggaran untuk merespons wabah Corona membuat banyak negara harus melakukan penghematan pada anggaran di sektor lain. Ini berarti akan menunda dorongan untuk menggunakan dan menerapkan enerji ramah lingkungan. Apalagi enerji ramah lingkungan saat ini dianggap mahal.

Di Amerika, aosiasi enerji matahari Amerika (the Solar Energy Industries Association, SEIA) dan dan asosiasi pengusaha enerji angin Amerika (American Wind Energy Association, AWEA), meragukan kemampuan industri mereka untuk bertahan tanpa dukungan keringanan bunga dari pemerintah. Industri enerji hijau yang selama ini dianggap berisiko makin meningkat reisikonya dengan kemungkinan tiadanya dukungan pemerintah.

Ini tentu bukan hal yang mudah bagi kita semua.

Banyak tulisan dan diskusi di antara masyarakat tentang wabah COVID-19 yang dikaitkan dengan teori konspirasi tentang berbagai versi, termasuk yang menyebutkan soal COVID-19 sebagai bagian dari senjata biologi suatu negara untuk memenangkan ekonomi global. Namun para peneliti dan ahli lebih mengarahkan analisisnya pada isu pemanasan global dan kerusakan serta ketidakseimbangan alam yang mengganggu ekosistem dan menyebabkan munculnya berbagai penyakit menular serta virus virus baru.

Tentu Nyepi lebih melibatkan aspek spiritual. Nyepi meminta kaum Hindu Bali untuk melakukan refleksi dan perbaikan perbaikan diri, baik kepada dirinya maupun kepada bumi.

Memang, seharusnya warga bumi belajar dari warga Hindu Bali untuk lebih bijaksana memperbaiki diri dan memperbaiki perlakuannya kepada bumi. Ini karena pesan Nyepi sangatlah universal.

Nyepi bukan hanya tidak melakukan empat ritual dari Catur Brata Penyepian, namun juga menyaratkan perbaikan diri. Melakukan sifat dan laku baik serta meninggalkan sifat dan laku buruk, baik terkait diri sendiri, maupun eskosistemnya.

Sayangnya, selama beberapa hari ini kita justru melihat masyarakat kita dan masyarakat dunia menjadi mudah panik, serakah, mau menang sendiri, dan pada saat yang sama sulit diatur dan egois. Kepanikan masyarakat akan merebaknya wabah virus Corona menyebabkan perilaku masyarakat memborong barang barang di pasar swalayan dan apotik apotik sehingga harga barang menjadi mahal dan barangpun tidak tersedia secara adil bagi warga yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun