Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paskah dan Spirit Pengorbanan Universal

20 April 2019   11:17 Diperbarui: 20 April 2019   21:01 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aarn Blanco Tejedor

*)Artikel ini bukanlah artikel keagamaan. Tulisan ini adalah refleksi saya sebagai pribadi selaku seorang muslim tentang spirit Paskah yang relevan dalam kehidupan saya pribadi dan kehidupan umum yang saya lihat.

Minggu Paskah telah tiba. Kita berada di tengah hari hari Tri Suci Paskah - Kamis Putih, Jumat Agung, dan Minggu Paskah. Masyarakat Katolik, secara umum menjalankan puasa selama 40 hari sejak masa pra-Paskah, dihitung dari hari Rabu Abu hingga Jumat Agung.

Dalam masa puasa, umat Katolik hanya diijinkan untuk makan kenyang selai saja dalam sehari. Sementara, berpantang wajib untuk mereka yang berusia di atas 14 tahun. Berpantang ini dilakukan dengan menghindarkan diri dari apa yang mereka sukai, misalnya makan daging, garam atau merokok. Berpuasa dan berpantang ini merupakan cara untuk mendekatkan diri dari Tuhan dan menyatukan pengorbanan umat Katolik dengan pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib.

Hari ini, kita membaca di Detik.com reportase berjudul "Potret Toleransi yang Bikin Adem di Jumat Agung" tentang bagaimana HP Anshor membantu POLRI menjaga Katedral Jakarta yang sedang ramai dikunjungi umat dalam rangka Jumat Agung.

Di satu sisi, berita ini menyejukkan karena nilai toleransi lintas agama yang baik terjadi. Di sisi yang lain, kondisi keraguan kita akan keamanan umat pada saat menjalankan ibadah di minggu Paskah di Kathedral menjadikan kita juga sedih. Mengapa suatu kegiatan keagamaan dalam peringatan Paskah memiliki potensi besar akan tidak aman, khususnya setelah diselesaikannya perhelatan Pemilu 2019. Situasi semacam ini juga hadir di perayaan Natal tahun yang lalu. 

Akhir akhir ini kualitas toleransi masyarakat kita diuji. Ini dipengaruhi oleh dinamika politik dengan menggunakan politik identitas, dan beberapa hal yang lain, misalnya makin menguatnya pemahaman keagamaan yang konservatif. Agama dijadikan alat politik. Padahal, dalam prakteknya, padahal kehidupan antar umat di tingkat keluarga dan masyarakat sangatlah penuh dengan toleransi. Ini terjadi sudah sejak dahulu.  Jadi, ada apa? 

Sebagai bagian dari keluarga yang plural dari sisi agama,  saya terbiasa untuk saling merayakan hari hari besar keagamaan yang berbeda. Idul Fitri saya adalah Idul Fitri kami semua. Paskah kakak dan adik ipar saya adalah Paskah kami semua. Tak ada yang berkurang dari iman kami masing masing. Bahkan, keimanan itu makin kaya.

Yang terberat bagi kami adalah membaca obrolan dan perdebatan serta kecurigaan dan permusuhan yang menggunakan perbedaan keyakinan dan agama sebagai basis. Ini bukan hanya menjemukan tetapi juga mengherankan. Dialog dan komunikasi antar umat beragama seakan tiada.Jangankan mendengar substansi, mendengar nama agama di luar keyakinannya disebut saja seakan sudah pantang. Lalu menolak anggota masyarakat dari kalangan agama lain untuk menjadi tetangga. Atau menggergaji tanda Salib di makam Nasrani di Yogyakarta? Semua itu di luar kemampuan saya berpikir.  Bukankan itu menunjukkan arogansi kita? Arogansi yang tak pernah diajarkan Tuhan kepada kita.  

Sayangnya, adalah menjadi realitas yang makin mengemuka ketika sahabat sayapun bisa jengah hanya melihat tanda salib ada di rumah seseorang yang ia kunjungi. Atau, kawan saya cepat cepat memindahakan saluran TV atau radio ketika mereka menyiarkan ajaran agama lain. Seakan takut bila itu akan mengganggu keimanannya. Ada apa dengan keimanan kita, kok merasa kuatir terganggu dengan keimanan orang lain? 

Pada peringatan Paskah kali ini, saya ingin menyertakan puisi Jalaluddin Rumi, pemuisi beragama Islam berkebangsaan Persia di abad 13 yang terkenal. Puisinya dibaca ratusan juta warga dunia. Puisi ini diterjemahkan oleh Coleman Barks. Saya sertakan larik Rumi, dan tentu saya menyadari keterbatasan saya untuk menginterpretasikannya. "The body is like Mary. Each of us has a Jesus, but as long as no pain appears, our Jesus is not born. If pain never comes, our Jesus goes back to his place of origin on the same secret he had come, and we remain behind, deprived without a share of him."

"Badan (manusia) adalah seperti Maria. Setiap manusia memiliki seorang Jesus di tubuhnya. Namun, bila tidak pernah ada rasa sakit, Jesus kita kembali ke tempat asalnya, bersama rahasia yang sama seperti kedatangannya. Dan kita tetap berkekurangan, tanpa dibagi sesuatu olehnya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun