Gerimis halus membersamai keberangkatan saya pagi itu menuju Stasiun Gambir. Setelah turun dari boncengan motor di depan Stasiun Gambir, saya menyebrang. Kemudian menyusuri trotoar menuju pintu masuk yang berada di sisi jalan Pejambon. Halaman basah menyambut saya tiba di area Gereja Immanuel.
Ya..., pagi ini saya mengikuti Festival Kebhinekaan yang diadakan oleh Wisata Kreatif Jakarta  dan Koteka. Kami akan mengunjungi dan mengenal 3 rumah ibadah. Kali ini saya akan menuliskan dari sisi disain bangunan.
Seperti kita ketahui, 3 bangunan ini terletak di pusat kota Jakarta. GPIB Immanuel, Katedral Jakarta dan Masjid Istiqlal, terletak berdekatan. Ternyata ini adalah cita-cita Presiden 1 RI Soekarno, sebagai cermin dari Pancasila, yaitu sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan agama, serta mampu hidup berdampingan dengan damai dan harmonis.
Ke 3 rumah ibadah ini termasuk Cagar Budaya yang tentunya harus kita pelihara. Â
Selain 3 rumah ibadah yang dikunjungi hari pertama, akan dilanjutkan ke 3 rumah ibadah lainnya di hari kedua. Karena itu akan saya ceritakan dalam 3 tulisan.
GPIB Immanuel
Arsitek J. H. Horst mendisain Gereja ini sejak 1824. Peletakan batu pertama 24 Agustus 1925 dan diresmikan pada tahun 1839 dengan nama Willemskerk untuk menghormati Raja Willem 1 (1813-183-1840).
Dalam laman Dinas Kebudayaan Jakarta, dijelaskan bahwa denah bangunan berbentuk lingkaran dengan 4 pintu masuk. Atapnya kubah, dengan penutup sirap, dan cupola dibagian puncak. Sementara teras belakang dan sedimen beratap perisai dengan penutup genteng.
Bergaya arsitektur Imperial, bagian dari neo Klasik. Tampak bangunan berwarna putih, dengan banyak pilar yang tinggi besar dan anak tangga dalam jumlah cukup banyak menuju pintu masuk ruang utama. Lantai bangunan lebih tinggi 3,2m dari halaman. Hal ini memberi kesan monumental dan kokoh, sesuai dengan fungsi bangunan sebagai tempat ibadah, yang memberi efek psikis bahwa manusia membutuhkan Tuhan yang Maha Kuasa.