Mohon tunggu...
Leoni Marisa Largus
Leoni Marisa Largus Mohon Tunggu... Bankir - Pecinta martabak manis dan menulis

aku adalah gelas kosong yang selalu senang diisi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Ada Gading yang Tak Retak

21 November 2020   16:05 Diperbarui: 21 November 2020   16:08 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak ada gading yang tak retak. Mungkin sebagian dari kita tidak asing dengan peribahasa ini. Salah satu peribahasa yang pernah saya pelajari dalam mata pejaran Bahasa Indonesia jaman sekolah dulu. Walaupun peribahasa ini terdengar biasa namun memiliki makna yang luar biasa. 

Dalam KBBI tak ada gading yang tak retak bermakna tidak ada sesuatu yang tidak ada cacatnya, atau sering kita sebut tidak ada yang sempurna. Begitulah kenyataannya tidak ada yang sempurna, cara saya memandang belum tentu sama dengan cara pandang anda. Kita sebagai manusia sering kali berbeda pendapat dan cara pandang mengenai benar atau salah yang tidak jarang menimbulkan reaksi yang justru saling menyakiti.

Dalam buku "How To Win Friends & Influence People In The Digital Age" karya Dale Carnegie, beliau pernah membahas bagaimana cara mendapat dan menjaga kepercayaan orang lain, salah satunya dengan cara Jangan Pernah Berkata "Kau Salah".  Carnegie mengatakan "memberi tahu orang bahwa mereka salah hanya akan membuat orang memusuhi anda. Hanya sedikit orang yang menanggapi dengan logis saat diberitahu bahwa mereka salah; kebanyakan orang menanggapi dengan emosi dan defentif karena anda mempertanyakan pendapat mereka".

Perdebatan mengenai benar atau salah sering kita lihat bahkan kita alami sendiri saat diskusi kelompok kecil dalam komunitas, saat briefing di kantor, menanyakan pendapat kawan, pasangan atau keluarga. Perbedaan pandangan tidak jarang di selingi dengan adu argument dan bahkan berakhir dengan saling menyimpan luka. 

Bukan hanya dalam lingkungan sekitar kita, acara debat di Televisi sering sekali mempertontonkan perbedaan cara pandang yang berakhir saling menghujat. Saya bahkan pernah menyaksikan sebuah acara di Televisi dimana ada dua bintang tamu, mereka saling berdebat dan berakhir salah seorang bintang tamu menyiram air ke wajah bintang tamu yang lain. Sungguh sangat disayangkan. Padahal benar menurut kita belum tentu benar menurut orang lain, begitupun sebaliknya.

Sifat Egosentris dalam diri kita manusia cenderung membuat kita menilai segala sesuatu hanya dari sudut pandang kita saja. Carnegie mengatakan "sebenarnya, dibalik keyakinan bahwa orang lain itu salah, terdapat sebuah pengakuan yang tak terucapkan bahwa kita tidak ingin di tolak. Karena tidak ingin menjadi pihak yang salah, kita pun memproyeksikan kesalahan tersebut kepada orang lain".

Mengatakan "Kau Salah" saat tidak setuju kesannya seperti  kitalah yang paling benar padahal belum tentu. Tidak mengatakan "Kau Salah" pada orang yang kita tau dia salah bukan berarti juga kita mendukungnya. Dalam hubungan sering kali kita tidak sependapat dengan orang tua, pasangan, dan teman, namun karena kita takut menyakitinya kita jadi menahan untuk mengungkapkan apa yang kita rasakan. 

Padahal "pertemanan yang bersikeras pada persetujuan dalam segala hal tak layak disebut pertemanan, pertemanan yang sejati harus menjunjung pebedaan yang jujur, tak peduli seberapa tajamnya perbedaan itu"  tutur Mahatma Gandhi.

Lalu bagaimana sebaiknya, apakah kita harus mengatakan "Kau Salah" atau biarkan saja? Jawaban yang paling efektif menurut Esther Jeles seorang spesialis corporate behavioral ialah mulailah dengan mengosongkan pikiran, ya kosongkan pikiran kita dari apa yang kita ketahui dan apa yang "kita pikir" kita ketahui. 

Berdiskusi dengan mengosongkan pikiran, membuat kita mengambil pendekatan yang lebih rendah hati dan jujur. Kita mengakui kemungkinan bahwa mungkin kita tidak mengetahui seluruh fakta dan bahwa mungkin kita bukanlah satu-satunya yang benar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun