Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harga Sayur di Kampung Kami Rp 1.000 Per-Kilo, Terpaksa Door to Door

8 Juli 2020   15:47 Diperbarui: 8 Juli 2020   21:17 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wabah Covid-19 tak hanya kejam merenggut nyawa manusia. Kejamnya juga terasa merenggut  gairah. Bukan gairah terpaut libido. Tetapi gairah ketika melakukan sesuatu yang rutin untuk kelangsungan hidup, tiba- tiba jadi tak ada harganya. Itu yang dirasakan petani di wilayah Batak saat ini. 

Lebih tiga bulan masa tanggap darurat, membuat harga produk pertanian sungguh anjlok. Cabai merah yang sering menjadi primadona pertanian dengan harga meroket, jatuh di kisaran Rp 10.000 per kg. Bahkan sempat berkutat di pusaran Rp 6.000 - Rp 7.000. Kenapa semurah itu. Alasan pegiat pasar, toke tidak turun dari luar. Biasanya toke yang masuk ke kawasan Tapanuli datang dari Pekanbaru dan Padang. Akibatnya cabai produk daerah hanya berputar di pasar lokal.

Artinya, cabai jadi surplus karena tak sebanding dengan kebutuhan lokal.

Tetapi bukan cabai merah yang terpuruk di masa pandemi corona. Yang paling ironis adalah pasaran sayur mayur. Terutama jenis sayur kol, sayur manis atau sawi. Petani uring-uringan ketika sayur yang dijual ke pasar, dihargai penampung cuma Rp.1.000. Itu pun bukan harga satu ikat, tetapi harga per kilo. Bah... Petani kelimpungan. Malah di pasar Siborongborong, salah satu pasar terbesar di Tapanuli Utara misalnya, sayur manis nyaris tak punya nilai. Cuma Rp 500 per ikat sebagaimana dicetuskan warga di medsos.

Di pasar Tarutung, ibukota Kabupaten Tapanuli Utara, tampak sayur aneka jenis menumpuk bergoni-goni seperti jualan tak bertuan. Harga sayuran Rp 1.000 per kilo dianggap tak sebanding dengan jerih payah saat bertanam hingga menuai. Lain lagi ongkos transportasi membawa ke pasar. Kondisi itu mengundang pegiat medsos memosting di laman facebook dan menjadi viral.

Selama stay at home, banyak warga desa memanfaatkan ruang dan waktu bercocok tanam. Bertanam sayur adalah pilihan dianggap praktis. Selain tidak ribet, masa mengambil hasil lebih cepat. Cukup satu bulan sayur manis sudah bisa dipetik dan dijual.

Mungkin, dengan banyaknya sayuran yang keluar dari desa, tak sebanding dengan permintaan pasar, harga sayuran di pasar menukik ke titik terendah. Harga Rp 1.000 per kilo sungguh dilematis. Petani lunglai tak berdaya. Dari pada sayur dibawa pulang, terpaksa direlakan. Terkadang satu keranjang penuh ketika ditimbang hanya 5 kilo, atau satu goni cuma 15 sampai 20 kilo. Artinya,uang yang diterima hanya Rp 15.000 atau Rp 20.000. Miris !

Entah karena membaca postingan tentang keluhan petani sayur di medsos, bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan bereaksi spontan. Suatu pagi di hari pekan Sabtu, bupati disertai petugas satpol kabupaten turun ke pasar Kota Tarutung. Di sana, bupati membeli sayuran petani yang menumpuk dengan harga lumayan tinggi. Para petani pun berebutan menjajakan sayurnya ke bupati. Tak semuanya yang beruntung memang. Dan ketika ada petani sayur belakangan datang, bupati sudah pergi. Namun aksi bupati memborong sayuran itu sempat menjadi buah bibir. Ada yang memuji itu sebagai cetusan rasa kemanusiaan.
 *****
Tak setiap saat bupati hadir lagi memborong sayur di pasar, banyak petani mengharap dapat rejeki serupa seperti yang lain. Apa boleh buat. Sayur sudah terlanjur ditanami, tentu harus dijual. Meski harga teramat murah.

Beda dengan yang dilakukan beberapa petani di desa Hutabarat Parbaju Tarutung ini.  Bagi Lilis Siahaan dan Linda Silaban misalnya. Dari pada susah payah bawa sayurnya ke pasar dan wajah berkerut menerima uang yang terlalu sedikit, lebih baik cari akal. Bagaimana kalau dijual saja dari rumah ke rumah di seputaran kampung.

Ide menjual door to door, timbul di benak Lilis mengingat sudah banyak pegawai negeri yang sudah bertempat tinggal di kampungnya Parbaju. Meski harus capek karena harus berjalan kaki mengangkut sayurnya memakai kereta sorong ( beko), tapi pasti harganya bisa wajar. Ternyata ide itu gayung bersambut. Para pemilik rumah yang tidak bertanam sayuran, menyambut Lilis dan Linda dengan baik. Lumayan. Sayur untuk jenis sawi dihargai Rp 2.000 per ikat. Bandingkan ketika sayur yang sama dijual Rp 1.000 per kilo di pasar.

Maka hampir tiap minggu terlihat dua wanita muda itu melintas di jalanan desa mengangkut sayur di kereta sorong. " Sayur segar, sayur segar..." sesekali berseru dari rumah ke rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun