Mohon tunggu...
Leonard Davinci
Leonard Davinci Mohon Tunggu... Lainnya - Ketika Aku Menulis Maka Aku Ada

Maumere - Flores - Nusa Tenggara Timur (NTT)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Problematika Masa Orientasi pada Dunia Pendidikan di Indonesia

22 Juli 2019   04:50 Diperbarui: 22 Juli 2019   05:15 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ilustrasi Okezone

                                                                                                       

Setiap memasuki tahun ajaran baru dalam dunia pendidikan kita, baik itu pada pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi, selalu diwarnai dengan berbagai kasus meninggalnya para peserta didik ketika mengikuti kegiatan masa orientasi. Para peserta didik yang dimaksud bisa berasal dari siswa sekolah dasar sampai sekolah menengah dan juga mahasiswa yang berkuliah di perguruan tinggi. 

Mungkin masih segar dalam ingatan kita, beberapa waktu yang lalu seorang siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Taruna-Palembang yang lagi-lagi menjadi korban dari kegiatan masa orientasi ini. Insiden seperti ini juga telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya yang menyebabkan nyawa para peserta didik kita menjadi terancam dan sepertinya sampai sekarang belum adalah solusi yang jitu dari pemerintah.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh pihak kepolisian dan juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mulai medio 2000-an sampai sekarang telah terjadi kurang lebih 30 kasus yang menyebabkan para peserta didik kita harus merenggut nyawa. Rata-rata kasus meninggal saat masa orientasi ini pun terjadi mulai dari tingkat Seolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat sampai pada tingkat Perguruan Tinggi (PT)/Universitas. 

Penyebabnya pun bermacam-macam. Ada yang meninggal karena kelelahan/kecapaian, ada yang menderita penyakit bawaan dan ada yang mengalami penyiksaan/kekerasan fisik yang lebih dikenal dengan istilah perpeloncohan.

Penggunaan istilah masa orientasi berbeda antara para peserta didik (siswa/siswi) tingkat Sekolah Dasar (SD), SMP dan SMA dengan masa orientasi mahasiswa/mahasiswi tingkat PT/Universitas. Pada tingkat SD, SMP dan SMA/sederajat, masa orientasi lebih diidentikan dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa). Sedangkan, pada tingkat PT/Universitas lebih dikenal dengan OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus). 

Meskipun demikian, istilah MOS dan OSPEK belakangan sudah diganti. Istilah MOS sudah diganti dengan Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru, sementara istilah OSPEK diganti dengan Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru. Pergantian ini sebagai bentuk respon dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang menyikapi banyaknya kasus pelanggaran berupa perpeloncohan yang mengarah pada tindakan kekerasan. Aturan pergantian nama ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru dan Keputusan Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, 

Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 096/BI/SK/2016 Tentang Panduan Umum Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru. Tentu, dengan adanya aturan-aturan tersebut, pemerintah berharap semoga kegiatan pengenalan lingkungan sekolah/kampus lebih bersifat edukatif, kreatif dan menghibur.

 Seyogianya, tujuan utama dilakukan kegiatan pengenalan lingkungan sekolah atau kampus adalah untuk membantu para peserta didik agar dapat beradaptasi dengan lingkungan sekolah maupun kampus sekaligus mengembangkan interaksi positif antar sesama. Sayangnya, tujuan positif dari kegiatan ini dalam pelaksanannya justru jauh panggang dari api. Konsep dari kegiatan ini banyak dipelintir, sehingga hakikat utamanya menjadi bias. Problematika mengenai tingkatan senior-yunior masih menjadi momok yang sangat menakutkan, di samping juga kurangnya pengawasan dari pihak institusi pedidikan terkait (sekolah dan universitas) serta kurangnya sosialisasi tentang aturan yang baku dari dinas terkait terhadap kegiatan tersebut. Prinsip senioritas yang seolah-olah menjadi "doktrin" dalam institusi pendidikan yang berlaku untuk peserta didik tingkat atas menjadikan mereka merasa lebih superior terhadap peserta didik baru, sehingga mereka bisa menghalalkan segala cara demi hasratnya tercapai. Prinsip ini secara perlahan menanamkan rasa dendam terhadap para peserta didik yang baru yang dengan sukses melewati rintangan tersebut dan tidak menutup kemungkinan para peserta didik yang baru yang telah melewati rintangan tersebut akan membalasnya ketika mereka menjadi senior. Faktor lain, misalkan konsep kegiatan yang mewajibkan para peserta untuk mengerjakan banyak tugas disertai membawa berbagai macam pernak-pernik, asesoris dengan nama yang aneh-aneh dalam waktu relatif singkat bisa menyebabkan para peserta kecapaian. Belum lagi konsep kegiatan di luar lingkungan kampus yang mengusung tema alam bebas pun sangat rentan, karena minim pengawasan dan juga kurangnya pengalaman serta literasi mengenai kondisi dan topografi alam yang bersangkutan. Apalagi para peserta yang notabene tidak memiliki stamina yang prima atau mungkin memiliki riwayat penyakit tertentu, akan sangat berbahaya terhadap kelangsungan hidupnya. Aturan maupun faktor-faktor penyebab ini sebenarnya sudah sangat disadari oleh pihak yang bersangkutan, namun karena sifat egois dan dibumbuhi perasaan dendam akhirnya mereka dengan sengaja mengabaikannya.

Sudah saatnya kita mengakhiri tragedi dalam dunia pendidikan ini. Kita tidak perluh mencari kambing hitam dengan saling menyalahkan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Segeralah kita berbenah agar tidak ada lagi para peserta didik yang merupakan generasi penerus Ibu Pertiwi ini setiap tahun menjadi korban. Cobalah kita kembali ke marwah dan hakikat utama dari kegiatan orientasi ini, yakni dengan mengacu pada aturan yang sudah dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah. Tidak perluh ada lagi perpeloncohan yang berujung pada tindakan kekerasan. Tidak perluh ada lagi konsep kegiatan yang aneh-aneh yang tidak mempunyai manfaat yang nyata untuk mendukung serta mengembangkan potensi dari para peserta didik. Cukup dikemas dengan kegiatan yang bersifat edukatif, kreatif, menghibur disertai dengan pendekatan dan cara-cara yang humanis agar para peserta didik merasa bahwa sekolah atau kampus seperti rumah mereka sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun