Mohon tunggu...
Leo Kennedy
Leo Kennedy Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lunturnya Nilai Pancasila di Era Generasi Micin

7 Desember 2017   16:13 Diperbarui: 7 Desember 2017   16:25 3163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.kemenkumham.go.id

SEBELUM booming diskusi di media sosial yang terjadi dalam kurun beberapa tahun terakhir ini, pakar komunikasi Mc Luhan sudah memperkenalkan konsep global village di tahun 1959. Lewat global village, akan memudahkan seseorang untuk mengetahui informasi individu lainnya yang bersifat pribadi dengan bantuan teknologi internet. Dan tepat di tahun ini, atau 58 tahun kemudian konsep itu terwujud. Global village kian terwujud nyara berkat kehadiran teknologi di era digital seperti sekarang ini (Griffin, 2015:320-323).

Sejak ditemukannya versi Web 2.0, media sosial mengalami perkembangan kemajuan yang sangat signifikan. Diawali dengan kemunculan friendster, berlanjut kepada BBM, teknologi internet terus melakukan transformasi komunikasi peradaban secara cepat. Berbagai platform baru media sosial bermunculan seperti google, facebook, twitter, lindkedin, my space, periscope, snapchat hingga yang terbaru telegram. Kehadiran media sosial semakin deras manakala perangkat teknologi komunikasi dengan jaringan internet seperti Iphon, Samsung, Vivo, Xiami dan sebagainya turut mempercepat penyebaran media sosial hingga ke segenap lapisan masyarakat.

Kondisi ini pada akhirnya turut mempengaruhi interaksi antar manusia sehingga pola komunikasi antar manusia menjadi terdesentralisasi dan lebih demokratis jika dibandingkan dengan zaman dimana teknologi komunikasi belum canggih seperti saat ini (Severin & Tankard, 2007:4445). Masifnya serbuan media sosial tersebut pada akhirnya ikut melahirkan generasi baru yaitu generasi milenial. Generasi ini cenderung menggunakan media sosial untuk mencari informasi sebagai sarana hiburan, belajar dan alat  untuk memperluas jaringan perteemanan (Heru Dwi Wahana, 2015:15). Ponsel pintar menjadi perangkat yang kini memiliki hubungan sangat erat dengan kehidupan manusia sehari-harinya. Tak aneh, alat ini kemudian menjadi alat bantu untuk mendukung berbagai aktivitas dan hobi, sampai dengan bisnis.

Lembaga riset pasar teknologi Gartner merilis bahwa pada kuartal pertama tahun 2017,  pertumbuhan pasar smartphone secara global sebesar 9,1 persen. Pertumbuhan itu dilaporkan digerakkan oleh tiga produsen ponsel China, yakni Huawei, Oppo, dan Vivo. Sampai dengan kuartal pertama tersebut sudah sebanyak 380 juta unit ponsel terjual. Adapun ketiga produsen ponsel itu menguasai hampir seperempat penjualan sebesar 24 persen, meningkat 7 persen dari tahun ke tahun.

Berdasarkan pada peringkat penjualan smartphone secara global di kuartal pertama tersebut Samsung masih menempati urutan teratas dengan penjualan Samsung sebanyak 78,6 juta unit (20,7 persen), berikutnya diikuti oleh Apple sebanyak 51,9 juta unit (13,7 persen), Huawei dengan 34,1 juta unit (9 persen), Oppo sebanyak 30,9 juta unit (8,1 persen), Vivo dengan 25,8 juta unit (6,8 persen) dan lain-lain sebanyak  158,3 juta unit (41,7 persen). Membanjirnya smartphone di pasaran tersebut ikut pula mengubah kebiasaan berkomunikasi di era milenial.

Bila dibandingkan dengan generasi babe gue, generasi milenial jauh lebih bersikap terbuka terhadapp perkembangan informasi. Mereka lebih tertarik membaca informasi secara cepat dan mudah terpengaruh dengan berbagai sajian gambar yang mempesona. Data terbaru yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada tahun 2016 menyebutkan bahwa jumlah penterasi pengguna internet di Indonesia sebesar 132,7 juta orang dengan 65% diantaranya bermukim di pulau Jawa.

Dan jika dilihat dari kategori rentang usia dari 10-24 tahun penerasi pengguna internet mencapai 75,5% disusul oleh rentang usia 24-35 tahun sebesar 75,8%. Jenis konten internet yang paling banyak diakses oleh pengguna internet di Indonesia adalah sosial media yang ditunjukkan dengan persentase 97,4%, disusul dengan hiburan (96,8%),  berita atau akses informasi 96,4%, dan pendidikan 93,8%.

Tingginya pengguna internet yang diakses dari handphone pada kalangan generasi muda millennial turut menciptakan gaya baru dalam berkomunikasi. Ada berbagai istilah bermunculan sejak kehadiran media sosial ini. Mulai dari istilah generasi merunduk yang merujuk pada kebisaaan anak muda yang selalu menunduk setiap berjalan karena asik bermain media sosial, kemudian muncul lagi istilah generasi micin. Generasi ini menggambarkan perilaku orang-orang zaman sekarang yang tidak bisa dimengerti, terutama di media sosial. Apapun perbincangannya, pasti yang dibawa-bawa micin. Dan terakhir adalah istilah generasi jaman now yang menyoroti pada perubahan perilaku yang makin memprihatinkan di kalangan anak muda masa kini.

Tak ayal dengan penetrasi media sosial yang sedemikian deras itu membuat nilai-nilai Pancasila semakin tergerus di kalangan anak muda. Mereka begitu cepat dipengaruhi dengan berbagai informasi yang tidak jelas sumber dan asal-usulnya. Informasi hoax pun merajalela bahkan berpotensi untuk mengadu domba antara satu individu dengan individu yang lainnya. Potensi itu makin nyata manakala isu rasial juga dihembuskan termasuk ideologi radikal yang membuat seseorang menganut paham radikal di Indonesia. Belum lagi dampak negatif lainnya seperti munculnya korban penipuan, kasus pemerkosaan akibat perkenalan di dunia maya, sampai kasus perselingkuhan dari pasangan yang berawal dari perkenalan di dunia maya.

Anak muda merupakan generasi yang sangat mudah dipengaruhi oleh paham-paham idelogi asing hingga mampu mengubah kebiasaan atau perilaku kehidupan sehari-hari. Istilah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat tampaknya semakin nyata. Banyak dari generasi sekarang merasa lebih dekat dengan seseorang di dunia maya yang sosoknya sangat diragukan keberadaanya. Sementara keluarga yang berada di sekitarnya malah justru terasa jauh. Sepinya ruang dialog keluarga dan tatap muka yang hangat tergantikan dengan keseruan ngobrol dengan seseorang yang berada di dunia maya.

Belum lagi berkurangnya rasa cinta terhadap tanah air dan Pancasila, menguatnya gaya hidup hedonisme, kesenjangan sosial yang makin lebar, serta sikap dan perilaku yang acuh terhadap ideologi nasionalisme pancasila adalah bukti bahwa nilai-nilai luhur Pancasila sudah makin tidak terdengar gaungnya di kalangan anak muda. Padahal Pancasila adalah tameng untuk melawan setiap bentuk gerakan radikalisme yang ada di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun