Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Lobster dan Perspektif Sustainability

9 Juli 2020   08:18 Diperbarui: 10 Juli 2020   07:50 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fajar, sedang menangkap lobster hasil budidaya di karamba miliknya yang berada di kawasan pantai Ulele, Banda Aceh, Jumat (26/1/2018). Lobster jenis mutiara, batu, dan bambu ini dijual ke sejumlah rumah makan dan restoran, baik yang ada di Aceh maupun di luar daerah dengan harga sekitar Rp 400.000 per kilogram. (Foto: KOMPAS.COM / RAJA UMAR)

Meski aturan itu juga memberikan ruang luas untuk pengembangan budidaya, namun beberapa kalangan masih mengkhawatirkan potensi terjadinya over eksploitasi terhadap benih di alam.

Pemicunya tentu harga jual benih yang menggiurkan. Inilah saya kira cara pandang ke dua dalam memaknai sustainability, namun terlihat lebih condong pada dominasi kepentingan ekonomi (economic interest) dan belum sepenuhnya memfokuskan pada prinsip dasar pre-cauntionary principle, biodiversity conservation & intergenerational interest.

Kesimpulannya dua cara pandang yang saat ini tengan berperang argumentasi bagi saya sama sama kurang memahami prinsip sustainability secara utuh yakni prinsip dasar dari "equality of dimension".

Dalam prinsip pre-cauntionary principle, kita harus sadar bahwa tekanan kuat terhadap sumber daya ikan atau ekosistem secara umum berpotensi mengganggu keseimbangan stok baik dalam konteks lobster sebagai transboundary species maupun sebagai plasma nutfah kita.

Sayangnya, rujukan dasar riset kita bersifat tunggal yakni kesimpulan bahwa fenomena sink population telah menyebabkan SR benih stadia Puerulus hanya 0,01% yang bisa sampai dewasa di alam (Jones, 2009).

Mestinya dalam konteks kajian stok, perlu ada sebuah permodelan kerentanan stok (stock vulnerability modeling) dengan melihat kecenderungan stok minimal 15-25 tahun ke belakang dan proyeksi hingga puluhan tahun ke depan. 

Proyeksi kerentanan stock ini penting agar pemanfaatan benih bisa dilakukan terukur dan sekaligus mampu menentukan skenario antisipasinya. Lobster sebagai transboundary species tentu membutuhkan keseimbangan dalam sebuah ekosistem yang sangat luas. 

Artinya tanggungjawab pemulihan bukan hanya menjadi tanggungjawab satu negara saja tapi bersifat lintas batas atau transnasional. 

Oleh karenanya, sebenarnya perlu ada semacam acuan atau legal framework antar negara yang menjadi jalur migrasi siklus hidup lobster ini. Contoh misalnya, antar RI - Vietnam-Australia perlu dibuat legal framework mengenai upaya antisipasi kerentanan stok.

Kesimpulan dari ulasan saya adalah bahwa prinsip sustainability tidak bisa dimaknai parsial tapi harus secara utuh menjamin "equality of dimension" terutama tiga pilar utama yakni aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Equality of dimension adalah bagaimana menghindari zero sum game antar ketiganya.

Pengembangan Budidaya dalam Negeri Sebagai Sebuah Solusi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun