Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

El Nino, Perubahan Iklim dan Teror Kerentanan Pangan, Salah Siapa?

23 Agustus 2019   19:51 Diperbarui: 25 Agustus 2019   10:23 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : idnews.com

Rasanya, ada satu yang luput dalam naskah pidato kenegaran yang saya kagumi tempo hari. Memang kesempurnaan hanya milik Yang Maha Sempurna, Tuhan YME. Yang luput, atau bisa saja saya kelewat baca yakni tentang tantangan global ke depan berkaitan dengan pangan, energi dan sumber daya air.

Kalau gak salah naskah itu masih dominan menyoroti terkait situasi global yang berkaitan dengan ekonomi dan transformasi teknologi informasi. Yang digambarkan sangat mencemaskan bagi saya orang awam. Jika kita tidak siap atau gagap.

Memori saya justru tertuju pada apa yang disampaikan pak Prabowo Subianto saat debat pilpres April lalu. Maaf bukan membanding-bandingkan. Karena saya bukan cebong atau kampret. Saya manusia.

Bahwa Indonesia harus mampu mewujudkan kemandirian di bidang pangan, energi, dan sumber daya air. Begitu Prabowo sampaikan dengan gayanya yang khas. Berapi api. Harus diakui, itulah fakta. Bahwa masalah energi, pangan dan air akan menjadi tatangan global ke depan. Artinya, jadi PR bersama negara negara di dunia. Jadi masalah trans-nasional.

Masalah ketiganya dipicu oleh Perubahan iklim dan lingkungan global. Sayang, manusia manusia yang cenderung antroposentris tak sadar bahkan tak mau peduli.

BMKG telah merilis dampak el-nino yang akan memicu bencana kekeringan di berbagai daerah. Tentu masalah kekeringan akan memicu terhadap kerentanan pangan nasional. Singkatnya pangan, energi dan air sebenarnya satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Mari kita urai satu satu.

Global warming yang picu perubahan iklim. Juga dipicu oleh peningkatan emisi karbon di atmosfer ini yang menyebabkan efek rumah kaca. Suhu bumi naik, picu kekeringan, picu krisis air, dan akhirnya mengancam produktivitas sektor berbasis pangan. Begitu siklus sederhananya.

Indonesia hingga saat ini belum mandiri dalam hal energi baru dan terbarukan. Sekitar 80% masih mengandalkan bahan bakar fosil. Dinilai lebih murah dan efisien. Itu menurut dimensi ekonomi. Padahal jika bicara sustainable development, kita akan bicara equity of dimension. Maka makna efisien akan berubah. Yakni input kecil, produktivitas naik, output limbah minim dan kualitas lingkungan terjaga.

Tapi Pemerintah tengah mendorong energi alternatif yakni biofuel. Yang lebih ramah lingkungan. Saat ini telah B30. Targetnya B100. Namun, andalannya dari produksi sawit. Mungkin dinilai paling ekonomis. Tapi kebijakan ini, pasti dinilai kontraproduktif oleh para pemerhati lingkungan. Sawit rakus air. Pun saya, menilai begitu.

Disisi lain, deforestasi konon begitu cepat, dimana didominasi oleh alih fiungsi lahan untuk industri kebun sawit. Tak ada yang salah jika pertimbanganya tetep satu. Kepentingan ekonomi. Urusan masa depan bumi lain urusan. Atau biar jadi tanggungjawab Tuhan saja. Mungkin demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun