Bumi telah usang. Termakan usia. Kerapuhannya begitu cepat. Melebihi perkiraan optimisme para ilmuan. Penyebabnya tak lain keserakahan yang memicu bumi ini kian rentan.
Alam dan sumber daya di dalamnya. Hanya dihargai pada sebatas nilai manfaat ekonomi belaka. Antroposentisme menggilas biosentrisme. Kearifan lokal tergilas nafsu duniawi sesaat.
Alam tak pernah diperlakukan layaknya makhluk Tuhan. Yang sama sama punya hak azasi. Yang sama sama miliki keterbatasan. Yang siklus alamiahnya harus tetap bergulir harmoni.
Maka, pantaskah manusia disebut makluk sempurna?
Saat kesombongan diri mengendalikan alam dan isinya. Maka saat itu, manusia menjelma sebagai predator. Tak pantas disebut makluk sempurna. Karena kesempurnaan menciptakan keseimbangan. Tuhan, Alam dan sesamanya. Begitu Tuhan kehendaki.
Lalu, alam murka dan beri perhitungan. Kesabarannya habis. Pemicunya ketidakseimbangan. Penyebabnya keserakahan si makluk yang katanya sempurna. Manusia.
Lalu, manusia merengek rengek. Menangis histeris. Melihat bencana melanda. Kadang menyalahkan Tuhan. Lewat sumpah serapah. Sudah terlambat.
Lalu, sampai kapan?
Kini, zaman memicu transformasi. Cara manusia penuhi kebutuhan hidup. Model baru. Tapi tujuannya sama. Mementingkan isi perut.
Sebagian teriak membawa misi naturalisasi. Sebagian lagi teriak, itu pandangan kuno. Saat pangan jadi kebutuhan milyaran manusia. Disisi lain alam dan sumber dayanya terdegradasi kritis. Maka krisis melanda. Perang melanda. Itukah yang kita inginkan?