Mohon tunggu...
Lailatul Chulaifiah
Lailatul Chulaifiah Mohon Tunggu... Freelancer - please dont read my garbage posts.

live your life as if it was the last

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Penggunaan TikTok pada Generasi Muda di Masa Pandemi

7 November 2020   03:32 Diperbarui: 7 November 2020   03:45 2298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Topik Pembahasan : Pemuda dan Pandemi COVID-19

Judul : Fenomena Penggunaan TikTok pada Generasi Muda di Masa Pandemi

Disusun oleh:

Lailatul Chulaifiah

Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan manusia yang diawali dengan serba sederhana kini berubah menjadi kehidupan yang modern. Manusia dalam kehidupannya selalu melakukan berbagai inovasi progresif secara kontinuitas dengan tujuan untuk mempermudah aktivitas mereka dalam kehidupan sehari-harinya. Salah satu inovasi terbesar yang dihasilkan dalam peradaban manusia adalah teknologi. Kehadiran teknologi menyebabkan mudahnya penyebaran informasi dan komunikasi tanpa mengenal batas Negara. Hal ini kemudian mengarahkan dunia menuju era baru yaitu era digital. Dalam era ini manusia melakukan aktivitas dengan mudah karena dilakukan secara digital atau daring. 

Berbagai produk dihasilkan dan ditawarkan oleh para kapitalis sebagai solusi dan pilihan alternative untuk membantu kehidupan sehari-hari manusia seperti dengan menghadirkan berbagai aplikasi sosial media yang dimana penggunanya didominasi oleh generasi muda. Adapun salah satu produk sosial media dari era digital yang sedang menjadi trend dan digemari oleh masyarakat yaitu aplikasi TikTok. Aplikasi ini sekarang dianggap sebagai sebuah 'budaya popular'. 

Budaya populer didefinisikan sebagai budaya yang digemari oleh masyarakat dan tidak terikat dengan kelas sosial tertentu, dampak dari budaya popular sangat dirasakan khususnya di era digital karena dengan adanya kemudahan akses atas informasi akan menyebabkan dampak signifikan pada budaya popular di suatu Negara (Sorrels, 2015). Budaya populer sendiri memiliki karakteristik, yakni budaya popular menciptakan tren yang bersifat sementara (replaceable) yang artinya trend tersebut dapat diganti ketika masyaraakat telah terganggu dengan kehadirannya dan eksistensi budaya tersebut mengikuti bagaimana selera publik, profitabilitas atau potensi keuntungan yang dapat diperoleh oleh mereka.

Aplikasi TikTok telah menjadi salah satu budaya popular yang menyerang dunia, tak terkecuali Indonesia. Dalam perjalanan eksistensinya, aplikasi TikTok sebenarnya sudah masuk ke Indonesia pada tahun 2017, namun pada kala itu dianggap oleh masyarakat sebagai aplikasi destruktif dan sifatnya membodohi karena didalamnya terkandung konten negatif seperti pornografi, asusila dan sebagainya. Hal ini yang kemudian menyebabkan Kementerian Komunikasi dan Informatika mengambil tindakan preventif dengan memblokir aplikasi ini. Namun keadaan ini berbanding terbalik ketika memasuki awal tahun 2020 dimana aplikasi ini justru menjadi salah satu pilihan favorite masyarakat, apalagi di masa pandemic ini.

Kehadiran COVID-19 mendorong masyarakat di seluruh dunia untuk tetap berada di rumah dan melakukan segala aktivitas secara daring. Dengan kata lain, masyarakat memasuki masa karantina. Tentu saja dengan diberlakukannya system karantina akan menimbulkan rasa bosan. Dengan kebosanan yang melanda membuat banyak orang cenderung mencari media hiburan yaitu salah satu pilihan yaitu aplikasi TikTok yang mana sangat digemari oleh masyarakat. 

Hal ini terbukti dengan riset yang dilakukan dalam situs Audley Villages mengungkapkan salah satu aktivitas popular yang dilakukan di masa karantina ialah bermain TikTok.  Kemudian argumen ini diperkuat dengan data pencarian Google yang telah mengidentifikasi bahwa salah satu aktivitas yang dilakukan masyarakakat selama karantina untuk menyibukkan diri ialah bermain TikTok. Adapun alasan mengapa TikTok menjadi pusat perhatian selama adalah selain sebagai upaya untuk menghindari penyebaran COVID-19 juga untuk menghilangkan rasa bosan yang tidak berujung.

Pengguna TikTok mayoritas berasal dari kalangan pemuda, atau jika dalam istilah teknologi ada yang disebut dengan "digital native", yaitu untuk golongan yang melek dengan teknologi sejak usia belia. Dan ada pula juga yang disebut dengan "digital immigrant", yaitu golongan masyarakat yang buta dengan teknologi, biasa berisi golongan tua. Untuk kalangan 'digital immigrant' atau golongan tua, tentu tidak mudah dalam mengakses dan memahami bagaimana kinerja serta penggunaan aplikasi TikTok. Berbeda halnya dengan generasi 'digital native' dimana berisi golongan muda yang hidup di era digital maka dengan mudah memahami penggunaan aplikasi TikTok.  

Generasi muda sebagai golongan yang mendominasi aplikasi TikTok bersenang-senang dengan menyajikan berbagai konten yang dikemas dalam bentuk video. Berbagai konten dihadirkan oleh golongan muda antar satu sama lain dengan dilandasi berbagai alasan seperti untuk kesenangan semata maupun demi mendapatkan prestise, perhatian, pengakuan dan pujian dari masyarakat daring. 

Tindakan tersebut dilakukan untuk mengejar like, komen dan share sehingga konten video yang mereka buat akan menjadi sesuatu yang 'viral' dan mendapat perhatian. Hal ini menyebabkan para generasi muda menghadirkan wajah kontradiktif antar panggung depan dengan panggung belakang. Dimana panggung depan didefinisikan sebagai presentasi diri mereka dalam sosial media, dan berbeda dengan bagaimana presentasi diri dibalik panggung yaitu kehidupan realitas sosialnya. Konsep ini sesuai dengan teori Dramaturgi yang diungkapkan oleh Erving Goffman yaitu mereka memiliki alasan tersendiri melakukan presentasi diri yang berbeda dalam sosial media dengan kehidupan realitas sosialnya.

Dengan adanya perlombaan untuk memperoleh like, komen dan engagement sebanyak-banyaknya, maka secara tidak langsung hal ini akan mendorong kreativvitas generasi muda secara tidak langsung selama masa karantina. Namun, tak sedikit pula dari mereka yang begitu terobsesi untuk mendapat like, komen dan engagement sehingga menghalalkan berbagai cara agar bisa mendapatkan engagement yang lebih besar demi memenangkan pertempuran antar sesama golongan pemuda. Berbagai tindakan yang dilakukan dapat berupa tindakan yang bodoh dan membahayakan bahkan berujung kematian. Kecanduan dalam produk sosial media ini akan menjadi penyakit tersendiri secara psikologis bagi golongan pemuda.

Fenomena maraknya penggunaan TikTok dapat ditinjau secara sosiologis melalui perspektif Tindakan Sosial menurut Max Weber yaitu Teori Rasionalitas Instrumental. Weber tidak memisahkan dengan tegas antara struktur sosial dengan pranata sosial. Struktur sosial dan pranata sosial keduanya membantu untuk membentuk tindakan manusia yang penuh arti dan penuh makna. Perkembangan dari suatu hubungan sosial dapat pula diterangkan melalui tujuan-tujuan dari manusia yang melakukan hubungan sosial itu dimana ketika ia mengambil manfaat dari tindakannya, memberikan perbedaan makna kepada tindakan itu sendiri dalam perjalanan waktu. [1]

Kerangka berfikir Weber mengandung dua konsep dasar yaitu konsep tindakan sosial dan konsep tentang penafsiran dan pemahaman. Weber juga mengemukakan lima ciri pokok dalam suatu tindakan yang dilakukan yaitu: (a) Tindakan manusia, yaitu menurut aktor tindakan mereka mengandung makna yang subyektif. 

Ini meliputi berbagai tindakan nyata, (b) Tindakan nyata, yaitu tindakan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif, (c) Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari sutau situasi, yaitu tindakan yang sengaja diulang serta dalam bentuk persetujuan secara diam-diam, (d) Tindakan yang diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu, (e) Tindakan yang memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain.[2] Dalam penjelasan ini, tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar oleh sang aktor. 

Penjelasan konsep Tindakan Sosial Weber diatas dapat digunakan untuk menganalisis pada fenomena generasi muda yang mendominasi penggunaan platform TikTok selama masa pandemic. Generasi muda dengan memiliki ambisi yang kuat untuk menjadi selebriti virtual berusaha memperoleh engagement yang secara luas dengan melakukan berbagai cara. Mereka berusaha untuk bertindak dengan menyajikan konten yang menarik dan berujung menjadi sesuatu yang 'viral'. Hal ini dilakukan karena generasi muda memiliki pemaknaannya tersendiri terhadap sebuah like, komen dan share sehingga penting untuk memahami bagaimana maknanya bagi generasi muda di platform TikTok. 

Pemaknaan siswa terhadap like, komen dan share tersebut akan berpengaruh terhadap upaya dilakukan mereka untuk mendapatkannya. Sebagai contoh pemaknaan like, komen dan share di aplikasi TikTok akan menunjukan bagaimana status sosial generasi muda dalam golongannya atau untuk mendapatkan prestise sendiri dan banjirnya pujian serta perhatian dari masyarakat. Ini menjadi salah satu contoh nyata aplikasi dari teori tindakan rasional Max Weber. 

Generasi muda juga memiliki alasan tertentu kenapa mereka tertarik untuk menjadi pengguna TikTok, dari hal ini juga dapat diketahui bahwasannya mereka telah melakukan tindakan rasionalitas instrumental karena mereka melakukan suatu hal dengan sadar atas dasar pertimbangan dengan tujuan tertentu meskipun interaksi yang dilakukan antar sesama dilakukan secara tidak langsung alias melalui pihak ketiga yaitu aplikasi TikTok, namun tindakan mereka  tetap dapat dikatakan sebagai tindakan sosial menurut Weber. Tindakan mereka ditujukan kepada pengguna yang lainnya dan mengharapkan adanya respon atau umpan balik dari pengguna yang lain.

[1] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014) hal. 37

[2] Ibid

Daftar Pustaka 

1.  Ritzer, George. 2014. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

2. Janah, E.A. 2018. "Media Sosial dan Anak Remaja (Studi Kehidupan Sosial Facebooker Anak Remaja di Desa Balesono Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung)". Skripsi FISIP Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

3. Hasiholan, T.P. dkk. 2020. Pemanfaatan TikTok sebagai Media Kampanye Gerakan Cuci Tangan di Indonesia untuk Pencegahan Penyebaran Virus COVID-19. Jurnal Kajian Komunikasi Vol.4(1), 59-72. Doi: 10.23960/metakom.v4i1.103 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun