Mohon tunggu...
laras pratiwi
laras pratiwi Mohon Tunggu... -

seorang pribadi yang tak luput dari kesalahan, seorang dengan keterbatasan, tetapi ingin terus belajar dan mengembangkan diri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rekonstruksi Moral Menjadi Jalan Akhir

17 April 2010   04:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:45 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“….Umar bakri, umar bakri, pegawai negeri. Umar bakri, umar bakri, 40 tahun mengabdi,… tapi mengapa gaji guru umar bakri seperti dikebiri..”

Sepotong lirik dari penyanyi Iwan Fals yang berjudul Umar Bakri seakan kembali menggelitik hati nurani rakyat Indonesia saat ini. Lagu tersebut pernah diusung menjadi lagu sosial yang menyuarakan hati pegawai negeri yang kehidupannya pada masa itu tidak senyaman sekarang. Seorang pegawai negeri yang jujur dan berbakti kepada negara tetapi tidak mendapatkan haknya.

Berbicara mengenai pegawai negeri saat ini dapat dinilai sangatlah jauh berbeda keadaannya. Remunerasi dan keistimewaan diangung-angungkan, hal ini diusung menjadi upaya pencegahan pegawai negeri melakukan tindakan korupsi. Namun, kenyataannya apakah remunerasi merupakan jawaban yang tepat untuk menghindari tindakan korupsi? Faktanya saat ini adalah terungkapnya kasus korupsi pegawai pajak golongan III, Gayus Tumbunan, menjadi bumerang tersendiri.

Fakta lain, belanja pegawai dalam RAPBN 2010 naik hingga Rp 25 triliun menjadi Rp 158 triliun. Kenaikan itu merupakan kompensasi dari pemberian remunerasi bagi sejumlah Kementerian dan Lembaga. Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang kecil, tapi apa yang negara dapatkan? Lagi-lagi uang negera dikerat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kekayaan Gayus Tambunan, pegawai negeri sipil golongan IIIA di Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, yang mencapai puluhan miliar rupiah memang mengejutkan banyak orang. Padahal, golongan kepegawaian Gayus, yang baru bekerja selama lima tahun ditetapkan gaji pokoknya sebesar Rp. 1.738.100 per bulan belum ditambah dengan remunasi dan berbagai tunjangan lainnya. Hal tersebut sudah diatur dalam Peraturan pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Gaji PNS. Memang sangat mengherankan, seorang pegawai negeri golangan III sudah memiliki harta kekayaan yang begitu besar hanya dalam tempo waktu lima tahun.

Tentu saja masih banyak oknum nakal lainnya selain Gayus, pemerintah dan pihak yang terkait harus lebih serius lagi menyudahi tindakan amoral ini. Realitas ini seharusnya menyadarkan pemerintah agar tidak menjadi lingkaran setan yang kerap terus terjadi. Dari pihak internal Ditjen Pajak juga seharusnya dilakukan pengawasan yang sangat ketat guna menghindari penyelewengan wewenang seperti yang dilakukan oleh Gayus Tumbunan. Hal tersebut sudah pasti mencederai hati masyarakat pembayar pajak yang merasa tertipu.


Memang tidak dapat serta merta program remunerasi untuk segera dihapuskan, tetapi yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan wajib pajak yang sudah terlanjur kecewa karena kasus ini. Kasus ini harus segera diselesaikan sampai dengan ujung pangkalnya. Mafia pajak harus segera dituntaskan, jangan hanya sebatas wacana saja. Kembalikan kepercayaan rakyat dengan melakukan reformasi total terhadap birokrasi untuk memperbarui wajah pelayanan publik dari seluruh instansi pemerintah.

Kini korupsi menjadi topik utama dalam wacana masyarakat. Kendatipun demikian belum satupun cara yang terbukti berhasil dalam memberantas epidemi korupsi. Hukum tidaklah lagi menjadikan ancaman bagi para koruptor, saat ini hukum ibarat suatu produk yang dapat diperjual belikan layaknya komoditas. Moralitas lah yang menjadi tumpuan pada akhirnya, bangsa ini harus kembali menjadi bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Rekonstruksi moral terhadap sendi-sendi berbangsa dapat dijadikan sebagai tonggak dalam melawan korupsi.

Korupsi dan keserakahan tidak akan mengantar bangsa Indonesia kepada kehidupan yang layak dan bermartabat, justru sebaliknya menuai kesengsaraan bagi puluhan juta rakyat miskin. Sistem remunerasi yang tidak tepat sasaran justru akan membentuk pribadi yang semakin serakah dengan wajah yang beradab. Korupsi bukalah suatu yang hanya dapat dilihat dari kacamata hukum saja, hal ini sudah memasuki wilayah etik dan moral bangsa. Tentu saja, rakyat Indonesia tidaklah bangga menjadi juara bangsa yang terkorup di dunia!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun