Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggali Hikmah Pandemi, Kerumunan Sama dengan Rezeki atau Masalah?

14 Juli 2020   11:47 Diperbarui: 14 Juli 2020   11:47 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada saja kabar baik yang saya baca saat pandemi ini. Misal, di suatu daerah, penggalakan sosialisasi mencuci tangan, berkaitan pandemi virus corona ini, ternyata telah ikut juga menurunkan angka gangguan penyakit yang berkaitan dengan pencernaan seperti diare, kolera, disentri, dan tipes. 

Semoga saja paska pandemi, kebiasaan baik tetaplah dipertahankan. Itulah salah satu hikmah dari pandemi ini, kita makin aware dengan perilaku menjaga kesehatan.

Ada sebuah saran sederhana dari teman dan kerabat saat kita mencari kuliner yang enak di suatu kota, "Carilah warung yang pengunjungnya ramai sampai berkerumun".

Pemilik warung senang warung laris manis sampai pengunjung antri dan berkerumun. Pengelola wisata gembira tempat wisatanya berjubel dipenuhi pengunjung hingga berdesakan. Kerumunan berarti rejeki begitulah bila dilihat dari sudut pandang ini.

Tetapi di masa pandemi sekarang kerumunan bisa menjadi suatu masalah. Warung yang nampak terlalu ramai dan padat pengunjungnya bisa saja dibubarkan aparat karena menimbulkan kerumunan. Karena suatu kerumunan berpotensi meningkatkan transmisi penyebaran Covid-19. Bukannya untung malah buntung.

Pemilik warung pengelola tempat wisata bisa saja memasang spanduk atau tulisan besar-besar, "Harap antre dengan tertib", "Jaga jarak, jangan berkerumun", dan sejenisnya. Tetapi kalau memang dasarnya peminatnya banyak ya tetap saja menimbulkan potensi berkerumun.

Tidak mungkin kan pemilik warung dan pengelola tempat wisata malah lantas mengusiri orang-orang yang pada antre berkerumun di tempat mereka. Yang mungkin dilakukan adalah "menghimbau" mereka yang sudah selesai makan untuk tidak kelamaan nongkrong di meja.

Kalau pengelola tempat wisata mungkin lebih susah, tidak mungkin misalnya pengunjung pantai yang lagi asyik-asyiknya berwisata di dalam dihimbau untuk segera keluar agar gantian dengan antrian pengunjung di luar bisa masuk.

Mungkin ada semacam joke, bagi yang menggunakan semacam pelarisan untuk warungnya, maka "set up" ulang perlu dilakukan dengan dukun terkait, "Mbah Dukun, tolong warung saya dibikin laris, tapi jangan terlalu laris, ya soalnya kalau terlalu menyolok larisnya dan menimbulkan kerumunan malah bisa dibubarkan aparat."

Adakah kiranya pemilik warung yang bersedia berbagi rejeki dengan warung lainnya? Misalkan, sebuah warung bubur ayam sangat laris hingga timbul kerumunan, pemilik warung bisa menyarankan, bubur ayam saya memang enak, tetapi gudeg sebelah juga enak, nasi kuning sebelah sono juga enak, monggo bisa dicoba.

Banyak tempat wisata dikelola semacam pokdarwis yang berasal dari satu dusun atau beberapa dusun. Mungkin bisa dilakukan saat tempat wisata mereka menumpuk pengunjungnya di gerbang sehingga antriannya menimbulkan kerumunan bisa memberikan himbauan, "Para pengunjung saat ini situasi di dalam pantai ini sangat penuh, bagi yang masih antri di gerbang mungkin bisa mempertimbangkan ke pantai 1, pantai 2 dst karena di sana masih lebih lapang." Jadi bisa menjalin sinergi sesama pokdarwis untuk saling menguatkan. Ya kalau bahasa anak sekarang, mutualan yok ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun