Mohon tunggu...
Ahmad Amrullah Sudiarto
Ahmad Amrullah Sudiarto Mohon Tunggu... profesional -

...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kenapa Mematuhi Hukum?

26 Agustus 2010   15:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:41 3570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_240211" align="aligncenter" width="237" caption="http://deerains.blogspot.com/2009_11_01_archive.html"][/caption] Kalo tidak salah (kalo salah tolong diluruskan, sudah agak lupa-lupa ingat), setidaknya kurang lebih ada tiga alasan mengapa orang patuh terhadap hukum yaitu - Pertama, karena takut sanksi hukum itu sendiri, karena hukum biasanya dibarengi dengan sanksi yang tegas - Kedua, karena takut sanksi sosial dari masyarakat, karena biasanya pelanggar hukum diikuti dari sanksi sosial dari masyarakat - Ketiga, karena menyadari bahwa hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Kesadaran tersebut timbul karena menyadari bahwa hukum tersebut untuk mengatur dan menjaga kepentingan dirinya dan orang lain. Contoh kecilnya dalam berlalu lintas, kenapa orang berhenti disaat lampu merah? Pertama karena ada polisi lalu lintas yang berjaga, sehingga kepatuhan tersebut muncul karena takut kena tilang, biasanya orang seperti ini akan melihat kiri-kanan dulu, akalau pak polisi tidak ada maka langsung tancap gas tanpa merperdulikan keselamatan orang lain. Kedua karena takut di teriaki sesama pengguna jalan dengan makin (seperti Goblok!! Ga punya mata apa!! dan kata-kata yang menyayat hati lainnya dari para pengguna jalan), biasanya kalau lalu lintas lagi sepi, atau pengguna jalan ramai-ramai melanggar. Ketiga karena sadar bahwa lampu merah tersebut untuk mengatur supaya tertib sehingga tidak terjadi kecelakaan yang bisa berdampak sistemik (istilah yang populer di kasus century yang tidak jelas ujungnya) menyebabkan macet, sehingga ada yang terlambat ikut ujian, ada yang terlambat masuk kantor dan berbagaimacam alasan yang sistemikdan membuat dirinya dan orang lain dirugikan, orang seperti ini biasanya cuek-cuek saja terhadap keadaan sekeliling dan menunggu sampai lampu hijau kembali menyala. Pertanyaannya adalah kenapa masih banyak yang melanggar?? (penganut alasan pertama dan kedua). Ada banyak juga alasan seperti masih banyaknya oknum polisi lalu lintas yang mau menerima uang “damai”, diselesaikan ditempat dengan “win-win solution” (ente senang ane juga senang). Pertanyaan selanjutnya kenapa begitu? Oknum polisi dan oknum masyarakat sama-sama memberi peluang untuk itu, mungkin saja oknum polisi memberi ruang (menawari) ataupun sebaliknya sehingga sama-sama tergoda. Lagi-lagi kenapa? Karena banyak juga oknum polisi yang mencari-cari kesalahan (kesalahan sedikit dibesar-besarkan), bukannya dinasehati supaya sadar bahkan biasnya dimaki duluan sehingga banyak menimbulkan dendam dan oknum masyarakat yang sudah jelas-jelas salah masih saja berdebat dan membela diri yang bisa menimbulkan kejengkelan, sehingga tujuan mulia yaitu KEASADARAN untuk patuh sulit tercapai. Contoh lain masalah korupsi (lagi-lagi korupsi karena memang makin merajalela) padahal di Indonesia merupakan negara yang berKetuhanana dan tidak ada celah bagi paham atheis (walaupun atheis atau tidak itu urusan hati masing-masing, siapa yang bisa mengetahui) sebagai negara yang beragama dan berKetuhanan tentunya tidak ada agama yang memperbolehkan korupsi, kalau ada, agamanya dikaji ulang. Artinya pelakunya juga masih orang-orang yang beragama. Lalu agama apa yang dianutnya?? Mungkin perlu KTP baru.. Pertama, sanksi hukum. Sesumpurnanya pikiran manusia pasti ada celahnya dalam hukum sebagai pikiran manusia tentunya juga mempunyai celah. Berbicara korupsi pasti dilakukan oleh orang-orang yang pintar (pintar melihat celah, bahasa kerennya ‘tukan intip’ jadi hati-hati) dan orang-orang yang berpengaruh serta punya uang (apalagi yang dikorupsi banyak) dan apasih yang tidak bisa dibeli? Sanksi hukum juga tergolong sangat ringan (biasanya terpina korupsi rata-rata hukumannya cuma 2-4 tahun hal ini pernah di ulas di media), jadi susah berharap pada sanksi. Oknum penegak hukum juga banyak seperti ba**i (kalau malam kemayu tapi siang keras, tergantung situasi). Kedua, sanksi sosial. Dalam editorial media Indonesia (Metro) saat membahas pemberian grasi dan remisi bagi terpidana korupsi dari berbagai penelpon, Papua, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dsb, semua menyesalkan hal tersebut. Artinya masyarakat menaruh perhatian besar dalam masalah ini bahkan ada yang mengusulkan agar sanksinya di jemur saja di monas tiap hari agar pelaku dan keluarganya malu, sehingga bisa memberikan efek jera. Tetapi kenyatannya koruptor ketika lepas dari penjara masih banyak juga yang menyambut bak pahlawan, bahkan masih juga melambai-lambaikan tangan dan tersenyum (entah makna senyumnya apa ya? Mungkin perlu dibuatkan sinetron) ke media. Sebagian masyarakat kita juga cendrung melihat keberhasilan dari seseorang dinilai dari hartanya, tanpa mau mengetahui asal usulnya dari mana seperti liat dulu apa merk mobilnya persoalan dari mana dia dapat (uang apa yang di belikan) itu pertanyaan yang ke seratus sekian). Parahnya lagi kalau dibawa lari ke luar negeri dan berfoya-foya disana, masayarakat disana mana mau tau? Ketiga, kesadaran. Hal inilah yang paling ideal tapi mungkin paling jauh dari harapan walaupun tidak ada yang mustahil. Bahwa Perbuatan yang ditimbulkan luar biasa jahatnya dan dampaknya sistemik. Memang tidak ada dosa turunan tetapi yang ada adalah “efek turunan”. Dosa ditanggung sendiri tapi efeknya ditanggung sama-sama. Ah, terlalu jauh kalau berbicara “dosa”. Jangan-jangan ketiganya tidak mempan, sanksi hukum tidak takut, sanksi sosial cuek saja kesadaran apalagi.. Contoh lain dari efek turunan seperti perusak lingkungan, walaupun dosanya ditanggung dia tapi efek perbuatannya ditanggung anak cucunya kelak. Hutan dibabat habis-habisan, walaupun pelakunya sudah meninggal, anak cucunya yang menanggung akibatnya Karena alam tidak melihat siapa yang berbuat tetapi alam hanya mencari bentuk keseimbangannya. Jadi wajar saja kalau banyak yang protes karena akibatnya dirasakan bersama, kalau akibatnya dirasakan sendiri oleh pelaku yah hukum tidak perlu mengatur hal itu. Dalam Islam ada yang disebut amal jariah, yaitu amal yang tidak pernah terputus, salah satunya seperti mumbuat sumur untuk umum, walaupun orangnya sudah meninggal tapi amalnya masih tetap ada untuknya sepanjang sumur tersebut dipergunakan oleh orang lain. Pertanyaannya ada tidak yah dosa jariah?? Walaupun orangnya sudah meninggal tapi dosanya masih tetap mengikutinya karena dampak dari perbuatanyya?? Kesimpulannya menegakkan hukum berarti antara aparat hukum dan masyarakat harus sejalan dan turut serta membangun dan menjaga tegaknya hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum merupakan suatu keharusan untuk menegakkan hukum, penegakan hukum bukan hanya tanggungjawab aparat penegak hukum tetapi semua subjek hukum (persoon yaitu manusia dan badan hukum) harus senantiasa ikut berperan karena hukum merupakan sebuah sistem sehingga dalam mewujudkan supremasi hukum, semua yang terkait dalam sistem tersebut harus senantia saling mendukung.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun