Mohon tunggu...
Lailatul Syadiyah
Lailatul Syadiyah Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer. Tertarik pada dunia religi, marketing manajemen, bussines, productivity, motivation, story telling, dan all about learning English.

Start from happiness

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Konsep Minimalism Vs Syar'i Minimalism, Diskusi Bareng Weemar Aditya

16 Juni 2021   07:00 Diperbarui: 16 Juni 2021   07:23 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa waktu lalu, Weemar Aditya berdiskusi dengan Hawariyyun dan Dena Haura tentang sebuah konsep yang menonjolkan kesederhanan dan kebermanfaatan suatu kepemilikan. Sebuah pemikiran (lifestyle) untuk merubah konsep dari mengejar kepemilikan menjadi manfaat.

Weemar Aditya memulai diskusi ini dengan pengantar, setiap kata isme itu pasti punya kaidah dasar. Kalau dalam Islam itu bisa dibilang akidah. Misalkan Pluralism itu akidahnya berdiri di atas pemikiran bahwa di atas pemikiran itu sama. Maka semua pikiran turunan dari pluralism itu akarnya semua agama itu sama.

Minimalism pun demikian. Dia punya kaidah dasar dari ingin merubah pemikiran orang dari mengejar kepemilikan menjadi kebermanfatan. Maka, untuk memiliki barang tidak mengejar kuantitas, tetapi yang terpenting adalah terpakai.  Jadi tidak masalah jika punya jam tangan seharga lima ratus juta, yang penting dipakai. Kecuali memang hiasan yang keberadaannya untuk dinikmati rasa keindahannya.

Dalam prakteknya, orang yang menganut prinsip ini dalam jangka waktu tertentu akan melakukan decluttering ( seleksi barang kepemilikan).  Jika dalam kurun waktu sebulan misalnya, keberadannya tidak pernah dipakai, berarti dia sudah tidak layak untuk disimpan lagi. Sufi minimalism itu berpendapat bahwa setiap barang itu memiliki energi, sehingga barang yang tidak dipakai itu adalah beban.

Allah kelak akan menghisab semua yang kita nikmati. Maka orang Islam akan berpikir seribu kali untuk memiliki barang yang tidak bisa dinikmati.  Rugi besar, jika kita punya barang tetapi akan dihisab di akhirat kelak.

Orang minimalis belum tentu melakukan itu karena pertimbangan hisab. Orang minimalis masih mungkin memiliki barang mewah karena butuh. Missal orang tidak bisa keluar rumah kecuali dengan gaya yang modis. Dalam minimalis tidak dilarang modis, misal orang memiliki tas seharga 200 juta, itu tidak masalah asalkan dipakai, itu sah saja untuk orang minimalis. Berbeda dengan minimalis dalam Islam, lebih baik pakai apa adanya saja, jika barang itu tidak bisa memberikan pahala untuk dia. Dalam Islam walaupun tidak salah memiliki barang mewah, orang akan merasa rugi karena uang senilai itu bisa dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih baik lagi yang dapat meringankan hisab di akhirat kelak.

Minimalis juga tidak hanya berbicara tentang barang saja, tetapi juga tentang pikiran atau informasi.

Weemar Aditya memberikan contoh dengan menceritakan kehidupan masa kecilnya yang belum mengenal infotainment, sehingga mau ghibah itu susah. Jadi informasi itu akan susah untuk kita dapatkan. Orang tua kita jika ingin mencari informasi harus keluar rumah dulu, tetangga, ke pasar, atau public service lainnya. Dibandingkan dengan saat ini, justru kita harus diet informasi, karena bermacam informasi mudah sekali muncul di sekitar kita, apalagi hadirnya smartphone di genggaman kita. Tiba-tiba muncul di notifikasi, ghosip-ghosip yang mencuat di tanah air, seperti perceraian artis hingga manusia viral yang bertransformasi menjadi artis dadakan.

Kemudian perbedaan antara orang Islam dengan menimalis adalah untuk orang minimalis berpikir apakah info ini bermanfaat untuk saya atau tidak sedangkan orang Islam akan berpikir apakah informasi bermanfaat dan berpahala untuk saya.

Sumber: Youtube Jubaedah Jub

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun