Mohon tunggu...
Lafi Munira
Lafi Munira Mohon Tunggu... -

introvert-moody|sangat menyukai hujan | sangat menyukai anak-anak | pecinta kucing | penggemar musik | kolektor buku |pecinta puisi, bahasa-bahasa, psikologi, sastra, filsafat, bintang, dan langit malam hari| menyukai aroma udara pagi hari dan langit teduh di pagi hari | penyuka langit biru dan awan-awan putih | suka mengumpulkan pasir pantai | lebih suka menulis daripada bicara | sangat suka memandangi sawah-sawah hijau dan damainya kota yogya | menyukai senyuman | menyukai filosofi pasir dan filosofi udara | suka berfikir, memperhatikan hal yang detail, | humanitarian wanna be |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kesadaran terhadap Amanah Secara Berjamaah

15 Desember 2013   22:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Refleksi ini untuk senantiasa mengingatkan diri sendiri utamanya, dan orang lain yang sedang menggenggam amanah.

Pernahkah kita bertanya sejenak kepada nurani secara sadar, apakah sebenarnya niat awalan kita sebagai mahlukNya terhadap suatu amanah?

Dalam konteks ideal, amanah hanya diberikanNya kepada mahlukNya yang Dia anggap “mampu” dan “kuat” untuk menunaikannya. Jika direnungi, amanah juga merupakan sarana belajar dan ujian yang diberikanNya kepada umatNya. Belajar untuk menjadi pribadi yang amanah dan menjadi seorang pembelajar karena amanah yang dititipiNya. Ujian yang harus ditempuh sebagai sarana untuk “naik kelas”, atau “tetap tinggal di kelas yang sama”.

Dalam konteks kekinian, manusia menjadi tidak lagi tertunduk ketika mendengar kata “amanah”. Amanah seringkali dijadikan alat untuk suatu kepentingan pribadi dan golongan untuk kebaikan pribadi maupun golongan saja. Amanah bukan lagi suatu hal yang ditakuti, takut karena amanah juga dapat mengantarkan kaki ini ke nerakaNya jika dilalaikan dan disalahgunakan. Amanah kini digunakan untuk mendongkrak citra diri, popularitas, dan segala sesuatu yang diharapkan bisa jadi jaminan untuk menjadi modal bagi perjalanan masa depan yang berhubungan dengan duniawi. Bukankah hidup ini sudah ada Dia yang menjamin?. Amanah kini tidak lagi jadi bahan “pengingat” akan keberadaanNya, bahwa segala sesuatu tentang kita manusia ada Dia yang selalu melihat, mendengar dan tahu apa saja, bahkan hanya sekedar bisikan niatan di dalam hati saja Dia bisa tahu, Dia yang sangat dekat, lebih dekat dari urat leher umatNya.

“Karena kelak kita akan berjumpa denganNya, untuk mempertanggungjawabkan hidup-hidup kita, termasuk amanah”.

Amanah merupakan bahan pembelajaran dariNya, belajar sabar, belajar semangat, belajar ikhlas, belajar mengendalikan hawa nafsu, belajar mengendalikan diri, belajar refleksi diri, belajar meningkatkan kualitas diri, belajar meluaskan pandangan, belajar menunduk karena diatas langit masih ada langit, belajar mendekatkan diri kepadaNya, belajar apapun, karena setiap apa yang terjadi di dalam hidup ini merupakan kehendakNya, merupakan skenario dariNya.

Ketika mendapatkan amanah sejatinya kita sedang diuji olehNya, apakah dapat melewatinya dengan baik dan benar, dengan harapan yang ideal seharusnya, yakni untuk kebaikan dunia dan akhirat sesuai dengan ridhoNya. Tidak hanya dunia saja, namun harus imbang. Maka saat menjalani amanah idealnya hal tersebut merupakan momen penyadaran diri untuk selalu mengecek dan meluruskan kembali segala niatan, mengecek dan meluruskan kembali hati dan perbuatan, karena tidak jarang suatu posisi atau kelebihan yang dititipkanNya kepada kita membuat kita lupa untuk memanfaatkan posisi dan kelebihan itu dengan baik, membuat kita lupa hingga terkadang menjadi angkuh karena merasa lebih dari yang lain, membuat kita lupa untuk refleksi.

“Karena seringnya kita lupa, maka kita sering juga mengecewakan orang lain dan tidak mengingatNya”

Betapa tidak, disaat orang dekat kita masih memiliki kesadaran akan amanahnya dan berharap kita juga mempunyai kesadaran yang sama untuk dapat menunaikan amanah bersama-sama dengannya, justru terkadang kita lupa harus melakukan apa, dan lupa akan peranan kita. Hal tersebut sudah menjadi cerita klasik yang mendunia, ketika rekan satu amanah ada yang repot sendiri dan disisi lain ada juga yang santai-santai, sedang malaikat pun sedang asik mencatat amalan keduanya dengan detail di sisi yang berbeda, mungkin. Hal tersebut lantas membuat orang yang bekerja dengan kita merasa lelah, jenuh, dan kecewa melihat rekan kerja yang tidak sadar juga. Namun disisi lain, lelah-jenuh-kecewa juga merupakan ujian yang harus dilewati oleh orang yang rajin menjalankan amanah tadi, ujian untuk bersabar dan mengendalikan diri.

“Bukankah akan menjadi indah jika kita sadar akan amanah secara berjamaah?”

Sadar akan amanah secara berjamaah. Amanah ditunaikan dengan baik, manfaat dapat dirasakan secara meluas, pembelajaran dan ujian dapat dilewati, terciptanya manusia-manusia yang tertempa dengan baik, manusia yang penuh dengan kesadaran. Tidak ada lagi lelah, jenuh, dan kecewa, karena semuanya terbagi dengan rata, karena semuanya mereguk hal yang sama, saling belajar, saling melengkapi dan saling berusaha melewati ujian, dalam menunaikan amanah untuk menggapai ridhoNya. Karena tiada manusia yang sempurna dalam menjalankan amanah, maka dibutuhkan kesadaran pribadi untuk menyadarkan diri sendiri agar tersadar bahwa digenggaman tangan ada amanah yang menunggu untuk ditunaikan dengan sadar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun