Mohon tunggu...
Rizqia Lady Nafisha
Rizqia Lady Nafisha Mohon Tunggu... Mahasiswa Hukum Universitas Airlangga

Mahasiswa yang peka dengan dunia luar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Paradoks Pendidikan Tinggi di Indonesia: Ketimpangan Akses Masuk PTN bagi Kelompok Ekonomi Rendah

24 September 2025   14:36 Diperbarui: 24 September 2025   14:35 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketimpangan Ekonomi (Universitas Airlangga)

Pendidikan tinggi merupakan pilar utama dalam membangun kualitas sumber daya manusia dan menjadi katalisator mobilitas sosial. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan sebuah paradoks yang kian menguat: Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan justru masih sulit diakses oleh kelompok ekonomi rendah. Tulisan ini mengkaji fenomena ketimpangan akses PTN dengan menganalisis secara mendalam faktor-faktor penyebab, termasuk disparitas kualitas sekolah menengah, biaya persiapan akademik yang tinggi, bias dalam sistem seleksi nasional, serta hambatan ekonomi pasca diterima di perguruan tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa partisipasi pendidikan tinggi masih didominasi oleh kelompok menengah ke atas, sementara tingkat partisipasi dari keluarga berpenghasilan rendah masih stagnan, menciptakan jurang sosial yang kian lebar. Kondisi ini tidak hanya membatasi mobilitas sosial, tetapi juga memperkuat reproduksi ketidakadilan dan mencederai amanat konstitusi. Tulisan ini juga menawarkan strategi kebijakan yang komprehensif, meliputi reformasi sistem seleksi, penguatan program afirmasi seperti KIP Kuliah, serta subsidi biaya hidup mahasiswa. Dengan langkah-langkah terstruktur ini, diharapkan PTN dapat benar-benar berfungsi sebagai wahana pemerataan sosial, bukan sekadar ruang privilese bagi kelas menengah-atas.

Pendidikan tinggi di Indonesia memegang peranan krusial sebagai fondasi pembangunan nasional. Sebagai institusi yang didanai negara, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diharapkan mampu menjadi gerbang inklusif yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat. Amanat konstitusi melalui Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa "setiap warga negara berhak mendapat pendidikan", yang kemudian diperkuat dengan kewajiban negara untuk menjamin akses ke jenjang pendidikan tinggi melalui kebijakan yang adil dan berpihak pada rakyat.

Namun, implementasi di lapangan menunjukkan sebuah paradoks yang mengkhawatirkan. Alih-alih menjadi mesin pemerataan, PTN justru cenderung menjadi benteng yang sulit ditembus oleh kelompok ekonomi rendah. Fenomena ini tercermin dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023 yang menunjukkan tingkat partisipasi kasar pendidikan tinggi hanya 25,7%, sebuah angka yang jauh di bawah rata-rata negara maju. Lebih jauh lagi, dominasi mahasiswa dari keluarga menengah ke atas dalam populasi PTN menunjukkan adanya hambatan struktural bagi kelompok miskin. Hambatan ini bukan hanya soal biaya, melainkan juga terkait dengan faktor akademik dan geografis.

Tulisan ini bertujuan untuk mengupas tuntas paradoks pendidikan tinggi di Indonesia dengan fokus pada ketidaksetaraan akses PTN bagi kelompok ekonomi rendah. Melalui pendekatan analitis yang didukung oleh data empiris dan kajian konseptual, tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam tentang akar permasalahan serta menawarkan rekomendasi kebijakan yang konstruktif untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang lebih adil dan inklusif.

1. Pendidikan Tinggi sebagai Sarana Mobilitas Sosial: Antara Teori dan Realitas

Secara teoritis, pendidikan tinggi sering dianalogikan sebagai ladder of opportunity atau tangga mobilitas sosial. Konsep ini didasarkan pada teori meritokrasi, yang meyakini bahwa pendidikan harus menjadi instrumen seleksi berbasis prestasi dan kemampuan individu, terlepas dari latar belakang sosial-ekonominya. Dalam pandangan ini, PTN seharusnya menjadi arena persaingan yang adil, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan.

Namun, realitas seringkali berbeda. Teori Pierre Bourdieu tentang cultural capital atau modal budaya memberikan perspektif yang lebih kritis. Bourdieu berargumen bahwa pendidikan kerap melanggengkan ketimpangan karena kelompok kaya memiliki modal ekonomi, sosial, dan budaya yang jauh lebih besar. Di Indonesia, fenomena ini sangat relevan. Meskipun seleksi PTN didasarkan pada ujian nasional atau nilai rapor, siswa dari keluarga mampu memiliki modal lebih untuk mengakses bimbingan belajar berkualitas, fasilitas teknologi canggih, dan lingkungan belajar yang mendukung. Ini menciptakan ketimpangan sejak awal, di mana kesiapan akademis tidak hanya ditentukan oleh kerja keras, melainkan juga oleh kapasitas finansial keluarga.

2. Akar Ketidaksetaraan Akses: Bias dalam Sistem Seleksi dan Kualitas Pendidikan

Sistem seleksi PTN (SNBP dan SNBT) yang dirancang untuk objektif dan transparan pada kenyataannya masih menyimpan bias yang signifikan. Bias ini berasal dari beberapa sumber:

Disparitas Kualitas Sekolah: Jurang kualitas antara sekolah di perkotaan dan pedesaan adalah salah satu akar masalah terbesar. Data dari Kemendikbud Ristek (2022) menunjukkan bahwa 68% SMA/MA di perkotaan memiliki akreditasi A, sementara di daerah pedesaan hanya 24%. Akreditasi ini sering kali mencerminkan kualitas pengajaran, fasilitas, dan kurikulum. Siswa dari sekolah dengan akreditasi rendah memiliki peluang lebih kecil untuk lolos jalur SNBP karena nilai rapor mereka cenderung kalah bersaing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun