Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik

UU Buka Peluang Boikot Pilpres 2019?

18 Januari 2018   21:21 Diperbarui: 18 Januari 2018   22:08 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Tribunnews.com

Persiapan pemilu serentak di tahun 2019 ternyata masih menyisakan sejumlah persoalan yang fundamental. Pemerintah dan DPR belum mampu merumuskan pertimbangan filosofis yang melatarbelakangi produk hukum yang dijadikan dasar penyelenggaraan pemilu serentak. Kenyataan ini salah satunya terbukti dengan pemahaman yang tidak sinkron atau sejalan antar pembentuk undang-undang tentang gagasan kepemimpinan dalam sistem presidensial. Perdebatan lalu tidak terselesaikan dalam musyawarah dan lagi-lagi rakyat Indonesia disuguhkan drama voting dan walk out di Sidang Paripurna DPR untuk mengesahkan UU Pemilu No 7 tahun 2017. Kemudian, sebagian masyarakat merasa perlu memohon judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Memang benar MK sebagai lembaga tinggi negara dapat menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945. Tapi, kewenangan itu tidak patut dijadikan alasan bagi pemerintah dan DPR untuk bersikap permisif kepada masyarakat supaya mengajukan uji materi ke MK karena tidak setiap orang mampu menggunakan haknya. Jangankan menyoal legal standing, kedudukan MK yang hanya berada di ibu kota negara sudah merupakan hambatan tersendiri bagi mereka yang bermukim jauh dari Jakarta meskipun hak warga negara dijamin sama. Andai setiap kebijakan pembentuk undang-undang mesti diuji melalui MK agar memperoleh kebenaran konstitusional, bukankah dapat mengganggu jalannya pembangunan nasional?

Selain itu, MK tidak dapat mengulang pengujian atas materi yang sama atau pernah diajukan di sidang pleno. Keputusannya bersifat final and binding. Di sisi lain, MK dengan kewenangannya bisa "menafsirkan" perundang-undangan dan terbentuklah sekadar pengadilan opini karena subyektivitas para hakim konstitusi tampak dominan. Entah opini itu salah atau benar, keputusan MK wajib dijalankan. Sehubungan uji materi UU Pemilu 2017, tercatat lima hal yang meleset dari pertimbangan hakim, yakni dasar ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold); esensi pemerintahan demokratis yang presidensial; calon presiden tunggal; hak memilih dan kedudukan partai politik dalam konstitusi.

Pada poin pertama, kedua dan ketiga, tanggapan saya terbatas dengan menggunakan sumber berita dari media karena sampai sekarang belum mendapatkan salinan putusan MK mengenai penolakan uji materi atas Pasal 222 UU No 7 tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden. Dan, saya cukup memakai beberapa pokok isu yang relevan walaupun argumentasi dari masing-masing pemohon dan hakim konstitusi mengandung banyak isu/klaim.

Pertama, (Kompas.com, "MK Tolak Uji Materi Presidential Threshold",  11/1/2018) pemohon berargumen bahwa Pasal 222 UU PEMILU No 7 tahun 2017 kadaluwarsa untuk menentukan presidential threshold di Pilpres 2019. Pemohon juga menganggap bahwa pasal bersifat diskriminatif terhadap partai baru untuk mengajukan capres. Namun, MK  tidak sependapat karena UU baru disahkan oleh pemerintah dan DPR pada 2017 lalu  bukan UU lama yang digunakan untuk menggelar Pilpres 2014. Pasal 222 dinilai tidak diskriminatif. 

Pertanyaan:

1. Apakah daftar pemilih dan partai peserta pemilu 2014 dan 2019 itu sama? Tidak.

2. Berdasarkan jawaban poin (1), apakah warga negara yang baru pertama kali menjadi pemilih di Pemilu 2019 memiliki hak yang sama dengan pemilih di Pemilu 2014? Tidak. Hak atau suara pemilih yang sudah mengikuti Pemilu 2014 dipakai untuk menentukan ambang batas pencalonan presiden di Pemilu 2019. Sedangkan, hak pemilih yang baru digunakan di Pemilu 2019 tidak dipakai untuk meloloskan calon presiden di pemilu yang ia sendiri ikuti. Jadi, setiap warga negara tidak memiliki persamaan hak di hadapan hukum (Baca: UU Pemilu) ketika mengikuti pilpres - bertentangan dengan pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Ketimpangan itu akan terus dipelihara dalam pemilu-pemilu selanjutnya. Kesalahan terjadi akibat rumusan hukum di pasal 222 bahwa hasil pemilu sebelumnya menjadi parameter pemilu yang akan datang. Bukan soal pasal yang kadaluwarsa, lalu dijawab UU itu baru disahkan. Tepatnya bukan kadaluwarsa, melainkan persamaan hak. Sembilan hakim seyogyanya mampu menangkap substansi yang dipersoalkan kendati pemohon kadang tidak cermat.

3. Apakah sudah ada daftar sah partai peserta pemilu 2019 saat UU Pemilu 2017 ditetapkan? Tidak. 

4. Jika belum ada partai pesertanya, lalu kursi yang duduk di DPR punya partai mana? Punya partai yang lolos Pemilu 2014 sebagai konsekwensi hukum UU No 8 tahun 2012. Bukankah partai peserta Pemilu 2019 harus diverifikasi sebelum lolos? Partainya saja belum terdaftar kok dianggap punya kursi di DPR dan dihitung untuk menentukan ambang batas pencalonan presiden. Ini namanya logical and factual inconsistency. Produk UU Pemilu 2017 berbeda dengan UU Pemilu 2012 Apakah UU Pemilu bisa berlaku surut? Tidak.

5. Ingat! MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 173 UU No 7 tahun 2017 yang berarti semua partai politik, termasuk 12 parpol peserta Pemilu 2014, harus mengikuti verifikasi faktual oleh KPU untuk mengikuti Pemilu 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun