Mohon tunggu...
Karina Kusumonegoro
Karina Kusumonegoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

lifestyle and culture enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Music

BTS, Boyband Korban Rasisme Anti-Asia dan Xenophobia dari Barat

1 Maret 2021   22:38 Diperbarui: 1 Maret 2021   22:53 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sudah hampir 15 tahun saya mengikuti perkembangan KPOP dan kultur Korea Selatan. Dari sejak sekolah dasar, bergabung dalam forum Super Junior, mengikuti fans gathering TVXQ sudah pernah saya lakukan. Hingga beranjak SMA saya sudah tidak lagi mengikuti perkembangan dari KPOP, karena sangat cepat tidak terkejar dan sibuk dengan hobby lain pula.

Namun belakangan ini boyband BTS sangat menyita perhatian saya. Kesuksesannya untuk go international benar-benar mengejutkan, membanggakan dan membuka mata saya sebagai penggemar KPOP. Mulai dari pidato di United Nations, pengukir sejarah menjadi artis dari Asia yang berhasil melangsungkan konser di Stadion Wembley London, menjadi Top Social Artist di Billboard Music Award 2020, hingga menjadi artis KPOP pertama yang berhasil menjadi nominasi Grammy.

Kesuksesan BTS ini tidak terjadi kepada semua musisi dan artis Korea, bahkan Asia. Sangat sulit sebagai etnis Asia untuk masuk dan diterima dalam komunitas Barat. Maka, keberhasilan dari BTS ini menjadi sangat membanggakan tidak hanya terhadap masyarakat Korea Selatan, namun juga kepada masyarakat di Asia.

Tidak dapat dipungkiri, rasisme yang berdampak pada kemunculan xenophobia masih banyak terjadi pada masyarakat Barat. Sangat disayangkan bahwa rasisme yang sudah tercipta dari abad pertengahan ke 15 hingga kini di tahun 2021 masih kerap terjadi di tengah masyarakat. Sulit untuk memusnahkan rasisme di muka bumi ini akibat adanya rasa kebanggan yang berlebih akan suatu ras dan golongan tertentu. Xenophobia sendiri merupakan bentuk ketakutan dan kebencian yang berlebihan terhadap suatu kelompok masyarakat asing dengan ras berbeda di tengah suatu komunitas.

Beberapa hari yang lalu pada linimasa twitter terdapat trending dengan berita seorang presenter radio asal German bernama Matthias Matuschik memberikan komentar yang menyinggung SARA terhadap grup boyband BTS asal Korea Selatan.

"These little pissers bragged about covering 'Fix You' from Coldplay." seru Matuschik secara on-air. Kemudian Matuschik juga menambahkan bahwa masyarakat tidak layak menuduh dirinya xenophobia karena ia juga memiliki mobil yang berasal dari Korea Selatan, yang namun setelah ditelusuri lebih lanjut pada Instagram Matuschik, mobil yang dimaksud sebenarnya adalah mobil buatan Jepang. Ketidakmampuan Matuschik dalam membedakan produsen mobil Korea Selatan dan Jepang ini memang kesalahan kecil yang tidak disadari. Namun dari kesalahan kecil tersebut kerap menjadi potensi timbulnya xenophobia.

Sikap dari xenophobia ini makin melonjak sejak mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyebut covid dengan istilah 'Chinese Virus', bahkan memberikan lelucon seperti penyakit kung flu. Bahkan baru-baru ini muncul berita bahwa adanya peningkatan serangan kepada para Asian-American, terutama pada kaum lansia di Amerika. Dari sini dapat disimpulkan bahwa meningkatnya xenophobia juga didasari oleh adanya 'dukungan' dari pemimpin negara yang dengan terang-terangan memberikan ekspresi kebencian dan rasisme atas suatu ras.

Kejadian ini bukanlah satu-satunya kasus xenophobia yang dirasakan oleh grup BTS. Pada tahun 2019 sempat pula terekam komentar yang menyinggung rasisme dan xenophobia dari salah satu stasiun TV di Australia. Salah satu personil dari BTS yang bernama Suga memberikan pesan bahwa para pendengar atau penikmat musik dapat menyukai musik yang diproduksi BTS apabila mereka medengarkannya tanpa ada prasangka.

BTS hanya menjadi salah satu korban dari tindakan rasisme dan kekerasan terhadap bangsa Asia. Individu seperti Matuschik, Donald Trump, hanyalah contoh kecil dari masalah global yang berakar pada ketidakpedulian dan sikap tidak bertanggung jawab yang kemudian dibiarkan berlanjut dari masa silam hingga kini. Dari rasa ketidakperdulian ini membentuk individu seperti Matuschik yakin bahwa komentar yang ia berikan tidak lain hanya sebuah opini tanpa ada maksud menyudutkan suatu kaum yang sebenarnya adalah 60% populasi di dunia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun