Mohon tunggu...
Efendik Kurniawan
Efendik Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Publish or Perish

Pengamat Hukum email : efendikkurniawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebiasaan Baru Berpotensi Lahir Norma Baru

14 November 2022   08:05 Diperbarui: 14 November 2022   08:07 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hobi bersepeda dalam dewasa ini, seolah-olah menjadi kebiasaan baru di masyarakat. Kebiasaan itu berdampak baik atau buruk untuk masyarakat lainnya? Patut untuk didiskusikan.
Terdapat pernyatan, bahwa "Kebiasaan itu sangat baik, jika "diniati" untuk berolahraga. Tetapi, akan sedikit buruk, jika mengganggu masyarakat pengguna jalan lainnya, ketika mereka yang bersepeda itu "tidak tertib" di jalan raya."
Ketidaktertiban itu dapat dilihat di beberapa daerah yang ramai dibuat bersepeda. Mereka sebagian tidak tertib. Misalnya, lampu merah tidak berhenti dan ada beberapa yang bergerombol saat di jalan raya. Saat lampu menyala merah, misalnya mereka tetap memaksa untuk jalan. Sedangka, sebagian masyarakat yang menggunakan kendaraan besar taat untuk berhenti di jalan raya itu.
Apakah hal itu tidak membahayakan pengguna jalan lainnya? Dengan tegas "Jelas sangat berbahaya!" Pertanyaan yang muncul selanjutnya, yakni jika terjadi kecelakaan siapa yang dipersalahkan? Apakah serta-merta kendaraan besar (sepeda motor, mobil, truk, dll) yang salah? (patut direnungkan).
Menjawab pertanyaan itu, di dalam ilmu hukum pidana terdapat "Ajaran Kausalitet". Konsep dari ajaran kausalitet ini menjelaskan tentang sebab-akibat suatu peristiwa. Artinya, sebab apa yang paling mendekati akibat itu terjadi, maka penyebab itulah yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Ajaran ini menentukan untuk menjawab, "siapa yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana atas akibat tindak pidana yang terjadi".
Jika terjadi peristiwa itu misalnya yang bersepeda melanggar lalu lintas dan kendaraan besar tidak melanggar lalu lintas, maka yang bersepeda yang bersalah dan patut untuk dimintai pertanggungjawaban pidana, jika perbuatan dan akibat perbuatan itu termasuk dalam tindak pidana.
Kebiasaan dalam Perspektif Hukum
Kebiasaan yang timbul dari tingkah laku atau perbuatan masyarakat ini, dalam perspektif hukum juga mempunyai andil untuk terwujudnya "hidup tertib manusia". Bahkan, dapat dikatakan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dari perspektif legal system yang digagas oleh Lawrence M. Friedmann.
Seperti yang diutarakan Lawrence M. Friedmann itu, baik antara legal structure dan legal substance, legal culture yang paling berpengaruh terhadap suatu kefektivan hukum. Legal culture atau masyarakat sering menyebutnya dengan budaya hukum, yakni bagaimana sikap dan perilaku masyarakat itu terhadap hukum, meskipun bukan dalam artian hukum positif dalam hal ini. Maksudnya, masyarakat sudah menjaga nilai-nilai ketertiban itu dan tidak mengusik diantara masyarakat lainnya. Tujuan dari hukum tidak lain dari pada itu, yakni "strategi tertib manusia".
Tetapi, akan lahir persoalan baru ketika ada sebagaian masyarakat yang tidak menjaga "nilai-nilai ketertiban" itu. Artinya, terdapat ketidaknyamanan sebagian masyarakat dengan kebiasan yang dilakukan oleh masyarakat lainnya, yang seolah-olah bagi sebagian masyarakat itu wajar dan tidak bermasalah.
Masyarakat lainnya sangat menghargai dalam melihat kebiasaan baru itu, dalam konteks ini bersepeda. Asalkan mereka ketika di jalan raya juga tetap menjaga ketertiban itu. Dengan kata lain, tidak ada masyarakat sebagai pengguna jalan yang dirugikan.
Sebaliknya, norma hukum positif diperlukan kehadirannya, ketika keadaan itu benar-benar urgent dan tidak bisa ditertibkan melalui kebiasaan. Mengingat, kehadiran hukum positif yang melarang suatu perbuatan selalu dibarengi dengan bentuk sebuah 'sanksi'. Apakah masyarakat sudah siap, jika tetap melanggar dan akan dikenakan sanksi?
Pasti akan banyak penolakan dari berbagai pihak dan dirasa aneh kembali. Mengingat, kepercayaan publik ketika merasa ada undang-undang baru. Seolah-olah langsung berifikiran itu merugikan. Tetapi, jika sebagian masyarakat mau membaca dan memahami untuk apa lahirnya norma hukum positif itu, maka tujuannya adalah untuk penertiban bagi sesama pengguna jalan. Ya, semoga banyak pihak yang bisa memahami.
Hal ini bisa saja terjadi, jika pengguna jalan, dalam hal ini masyarakat yang  berhobi sepeda itu tidak bisa tertib dan masih melanggar lalu lintas. Ya, pertimbangan politik hukumnya ada pada titik itu.
Mengingat, bahwa kebiasaan yang dilakukan di jalan raya termasuk dalam "perbuatan hukum". Artinya, perbuatan itu dilakukan oleh subjek hukum, yang mempunyai akibat hukum, dan akibat itu dikehendaki oleh subjek hukum tersebut.
Tetapi, penulis sendiri juga tidak terlalu berharap kehidupan kemanusiaan ini dikit-dikit diatur oleh hukum positif. Mengingat, dari penegakan hukum di negeri ini yang masih diiringi 'langit gelap'. Entah, banyak faktor yang mempengaruhinya. Terkhusus, banyak dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, yakni pemahaman dari aparat penegak hukum terhadap ilmu hukum itu sendiri. Seperti yang disampaikan Prof. Barda bahwa ilmu hukum juga punya pengaruh yang sangat penting di dalam kefektivan sistem hukum itu sendiri.
Terkhusus pada hendak adanya norma hukum positif, mengutip pernyatan Prof Tjip, yakni "jika terlalu banyak undang-undang yang mengatur kehidupan manusia itu, maka hidup ini seperti terkotak-kotak oleh undang-undang." Pernyataan itu jika kita renungkan hendak mengingatkan, bahwa dalam pembuatan hukum positif haruslah hati-hati dan jangan sembarangan. Mengingat, pembuatan dan penegakannya itu harus sudah dilakukan kajian ilmiah dan benar-benar diinginkan, serta dibutuhkan untuk ketertiban manusia atau tidak. Jika tidak dibutuhkan, jangan dipaksakan untuk membuat hukum positif.
Dengan demikian, jika masyarakat bisa disadarkan dengan adanya kebiasaan baru dan tetap menjaga ketertiban itu, serta tidak merugikan sesame pengguna jalan maka tidak diperlukan kehadiran norma hukum positif dalam konteks ini. Pada titik inilah, masyarakat tertib dengan kesadaran diri sendirinya, maka itu jauh lebih baik. Bisakah masyarakat kita sampai pada titik itu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun