Mohon tunggu...
Kristogonus Tadeus
Kristogonus Tadeus Mohon Tunggu... Guru - mencitai kebijkasanaan

kristo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Semua Disabilitas Terlihat

4 Desember 2020   06:55 Diperbarui: 4 Desember 2020   07:00 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Secuil kisah belajar bersama penyandang tunanetra.

Menjadi seorang guru bukanlah cita citaku. Cita citaku berubah ubah seiring dengan tumbuh kembangnya hidupku. Semasa kanak kanak cita citaku menjadi pastor. Setamat SD saya mengikuti testing masuk seminari menengah di seminar Todabelu Mataloko Flores. Impianku keburu layu sebelum berkembang. Saya gagal di test masuk. Lalu saya melanjutkan pendidikan di sekolah umum.

Alur hidup yang berbelok ini ikut mengubah cita citaku. Tubuh tegap dan berwibawa seorang polisi membuatku terpesona. Ah aku mau jadi polisi lah gumamku. Di sela sela masa remajaku aku mengisi dengan berolah raga, ikut beladiri, fitness demi mencapai angan angan ku. Selalu meningkatkan kebugaran dan stamina terus kulakukan agar lulus testing nantinya. Setamat SMA aku bingung lagi, antara testing polisi atau masuk seminari lagi.

Kuatnya pengaruh teman teman ku agar aku masuk seminari menggoyahkan cita citaku jadi polisi. Bersama beberapa teman SMA, saya mengikuti testing seminari. Eh ternyata lulus. Aku pun menjalani tahap tahap pendidikan menjadi seorang imam itu. Perjalananku sebagai seminaris Sudak cukup jauh kutempuh hingga mendekati selesai. Dengan berbagai pertimbangan saya memutuskan tuk mundur dan memilih hidup sebagai awam.

Berbekal sarjana teologi yang kumiliki, saya mengabdikan diri sebagai seorang guru. Walaupun tidak pernah bercita cita menjadi guru, darah seorang guru mengalir dalam diriku. Dua keturunan di atasku, ayah dan kakek adalah seorang guru. Tidak sulit mengadaptasikan diri di lingkungan belajar mengajar. Darah guru dipadukan pengalamanku pernah menjadi siswa turut memudahkan ku menyesuaikan dinamika mengajar di sekolah umum.

Namun mengajar anak anak berkebutuhan khusus sungguh tak pernah masuk dalam skenario hidupku. Tak pernah terbersit sedikitpun dalam anganku untuk mendidik mereka. Malah deretan pikiran sinislah yang menyeruak tatkala bertemu dengan mereka penyandang disabilitas. Para penyandang tunanetra sering saya temui mengais rezeki di SPBU, pinggir jalan. Menggunakan tongkat, langkah mereka nampak tertatih menyusuri jalanan.

"Sungguh malang ya nasib mereka, tak bisa menikmati keindahan ciptaan Tuhan. Bagaimana ya mengajarkan mereka yang tidak bisa melihat. Betapa sulitnya para guru yang mengajarkan mereka. Mengajar yang normal saja kewalahan apalagi mereka". Hanyalah sulit, susah, payah yang kubayangkan. Maka tak terbersit suatu ketika akan mengajar mereka.

"Rancangan ku bukanlah rancanganmu" kata nabi Yesaya. Dalam peristiwa yang sama sekali tidak terencana, saya bertemu dengan para penyandang tunanetra. Awal mula saya mengajar mereka, berbagai kendala saya temui. Anehnya, dalam berbagai kendala itu, saya sepertinya "jatuh cinta" bersama mereka. 

Artinya, pikiran serba sulit kala saya belum bersama mereka bukannya menyurutkan langkah ku saat belajar bersama mereka. Batinku berkata, aku ingin belajar bersama mereka. Walau berlatarbelakang sarjana pendidikan umum, tapi saya yakin saya bisa memberikan "sesuatu" buat mereka.

Kini aku ikut ambil bagian dalam hidup siswa siswi tunanetra. Jujur saya bersyukur bisa ambil bagian dalam mendidik mereka. Seandai waktu bisa diputar saya ingin sedari awal karya hidupku bersama mereka.

Tapi Tak mengapa, pepatah bijak selalu mengatakan tak ada kata terlambat dalam herbuat selama niat dan keinginan untuk melakukan yang terbaik. Aku masih seumur jagung ikut ambil bagian dalam pendidikan siswa tunanetra. Benih yang kutaburkan belum membuahkan hasil. Aku masih belajar dan belajar lagi agar apa yang kutaburkan bagi mereka bisa berguna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun