Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negara Menjadi Institusi Keluarga Baru bagi Anak Yatim Piatu

25 Agustus 2021   09:54 Diperbarui: 25 Agustus 2021   10:18 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak di masa pandemi Covid-19. Foto: mediaindonesia.com.

Pandemi Covid-19 sudah menelan banyak korban, biaya, waktu, dan tenaga. Angka kasus positif dan kematian, dari hari ke hari saling kejar. Tak ada yang mampu melerai secara permanen bagaimana pandemi ini bisa berakhir. 

Semua prediksi meleset jauh. Semua usia, golongan, dan wilayah di mana pun di belahan dunia ini, tak luput dari sengatan infeksi. Covid-19 tak memandang usia. Covid-19 tak mengenal suasana batin.

Sejak muncul sebagai pandemi global pada Maret 2020, virus korona sudah banyak menelan korban. Mula-mula di Cina -- sebagai tanah tumpah darah Covid-19 -- kemudian bergerak ke Italia, Brazil, Amerika Serikat, Spanyol, India, dan Indonesia. Angka kasus positif di negara-negara ini cukup tebal. 

Selain angka kasus positif, angka kematian pasien Covid-19 juga mengerikan. Tak hanya mereka yang menginjak usia senja yang terpapar, usia produktif juga tak luput dari cengkraman Covid-19.

Di India, angka kematian akibat terpapar Covid-19 varian Delta melonjak drastis pada akhir Mei -- Juli 2021. Banyak warga dengan rentang usia 46-59 tahun meninggal karena kehabisan oksigen. Selain itu, mereka yang menginjak usia 60 tahun ke atas juga sangat rentan terpapar Covid-19. 

Banyak negara justru berharap kepada kelompok usia produktif (19-39 tahun) untuk membangun kekuatan komunal dalam mempertahankan generasi masa depan bangsa.

Di Indonesia, mungkin juga di negara-negara lain, efek jangka panjang dari pandemi Covid-19 ini sangat berbahaya. Ketika mereka yang dengan usia senja (46-60-an tahun ke atas) lebih rentan (meninggal) karena terinfeksi, banyak anak usia dini yang justru menjadi yatim, piatu, dan yatim piatu. 

Ada yang kehilangan sosok Bapa dalam rumah tangga, ada yang kehilangan sosok Ibu, dan ada pula yang merasa tak lagi berharap untuk masa depan karena kehilangan kedua orangtua. Mereka menjadi yatim dan piatu terlalu dini.

Membeludaknya jumlah pasien membuat argumentasi perjuangan di ruang medis tak memilih. Semua diperlakukan sama, meski salah satu pasien Covid-19, misalkan, adalah tulang punggung dari satu keluarga. Di ruang isolasi ditambah gempuran ketakutan karena terinfeksi Covid-19, status ayah dan ibu bisa tiba-tiba lenyap. 

Dalam rentang waktu seminggu, kedua orangtua bisa pergi selama-lamanya tanpa diketahui anak-anaknya. Tragedi ini, sudah banyak dialami saudara dan kenalan kita.

Mengidap Covid-19 memang menakutkan. Mengidap Covid-19, pada taraf tertentu, hemat saya, sama dengan sebuah upaya pengurangan jumlah anggota keluarga, suatu kondisi yang menyengsarakan (diberi jarak), dan memperlebar ruang yatim piatu. Potret anak yatim dan piatu akibat pandemi Covid-19 makin meluas di Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun