Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyoal Tuhan: Tuhan Sejauh Entahlah

23 Oktober 2020   22:04 Diperbarui: 23 Oktober 2020   22:24 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Nubuat mengenai disanggelion (kematian Tuhan) telah diramalkan oleh Frederich Nietzsche. Dalam oracle-nya, Nietzsche memproklamirkan kematian Tuhan (Gott ist tot). Siapa yang membunuh-Nya? "Kita semua, ya Anda dan saya," kata Nietzsche membenarkan dakwaannya. Dengan mengungkapkan nubuat tentang kematian Tuhan, Nietzsche kemudian dikenal sebagai si pembunuh Tuhan. Asal istilah kematian Tuhan yang dikumandangkan Nietzsche dapat diketahui dari bukunya berjudul Die Frhliche Wissenschaft (Ilmu yang Mengasyikkan). Dalam buku ini, pembahasan tentang kematian Tuhan terdapat pada aforisme yang berjudul Der tolle Mensch (Orang Gila). Kutipannya demikian,

"Orang Gila. Tidakkah kalian melihat orang gila yang menyalakan pelita di pagi yang cerah. Dia berlari menuju alun-alun kota dan tak henti-hentinya berteriak: 'Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan! Tidakkah kalian mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sedang memakamkan Tuhan? Tidakkah kalian mencium bau busuk Tuhan? Ya, Para Tuhan juga membusuk! Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah membunuh-Nya!"

Nubuat kematian Tuhan di atas adalah seruan yang terus menerus menunjukkan pemenuhan-Nya. Di Eropa, Tuhan sudah dilepaskan perlahan-lahan. Orang mulai "jatuh cinta" dengan suasana meditatif yang disembur dari dataran Tibet dan buih-buih kesejukkan dari Asia. Dalam sebuah nada provokatif, seorang perempuan berkebangsaan Prancis berujar demikian, "Apa yang Anda harapkan dari hidup berke-Tuhan-an?" Lantas saya diam, ketika ia berujar demikian. Ironisnya lagi, para penggemar sepak bola pun berujar sinis, "Anda boleh berganti pacar, atau keyakinan sekalipun, tetapi berganti klub sepak bola adalah sesuatu yang mustahil." Semua ilustrasi ini adalah rupa-rupa disanggelion -- kabar buruk, kematian Tuhan -- yang dinubuatkan oleh si pembunuh Tuhan.

Pada Mulanya

Dalam catatan sejarah kehadiran Yang Ilahi (Divine Reality) selalu diperdebatkan. Banyak teolog, filosof dan para pemikir keagamaan memperebutkan istilah-istilah tertentu yang disematkan untuk Tuhan. Untuk apa Yang Ilahi diperdebatkan? Bukankah Ia adalah sesuatu yang sempurna dan tidak memerlukan pendefinisian tertentu dari mereka yang mengaku sebagai 'perantara-Nya?' Pendefinisian adalah bentuk kekerasan. Definisi berarti memberi batasan. Ketika Allah didefinisi, Ia terbatas, meruang dan mewaktu. Yang tersisa adalah kekuatan argumen orang-perorangan atau kelompok yang mengklaim kebenaran definisinya masing-masing. Lalu, untuk apa pembicaraan tentang Tuhan diterjunkan ke ranah publik? Pembicaraan Tuhan dari sediakala adalah sesuatu yang privat. 

Dalam bukunya "The History of God: The 4,000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam" (1993), Karen Armstrong menulis demikian, "Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi. Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepada-Nya. Ia terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tidak memadai. Perlahan-lahan, Ia memudar dari kesadaran umat-Nya" (Karen Armstrong, 1993: 27). Kutipan ini menunjukkan adanya metamorfosis kehadiran Tuhan -- dari Ada menuju suatu era di mana Ada itu sendiri dilupakan dengan menghadirkan ada-adaan. Allah yang satu dalam monoteisme primitif menjadi semakin jauh sehingga banyak orang memutuskan untuk tidak lagi menunggu-Nya. Dan, pada akhirnya Dia dikatakan telah menghilang. Ada yang bilang Ia telah dibunuh. Sepertinya nubuat Nietzsche mendekati kebenaran.

Tuhan sejauh Bahasa 

Dari ide tentang Tuhan Yang Esa, kini lahir pula tuhan-tuhan yang mudah dijangkau. Ritual menghadirkan Tuhan tidak lagi semeriah dan sehikmat dalam tindakan kultus budaya lokal yang konon kita jumpai. Tuhan-tuhan yang baru menawarkan semangat yang sama sekali lain. Wihelm Schmidt dalam bukunya The Origin of the Idea of God (1912) menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa. Pada awalnya, manusia mengakui bahwa hanya ada satu Tuhan yang telah menciptakan dunia dan menata urusan manusia dari kejauhan.

Akan tetapi, penjelmaan Tuhan dalam tindakan kultis dihalangi oleh hadirnya perayaan modern, seperti merayakan ulang tahun di KFC, jalan-jalan ke mall, reuni, koleksi group WA di usia senja, dll. Ritual perjumpaan dengan Tuhan bahkan ditarik ke layar maya -- ritus-ritus yang memberi instruksi perayaan tertentu dengan kelengkapan ornamen, seperti lilin, asap, persembahan, suara yang menyerupai Tuhan. Sangat gaib, mistis. Tapi, memang semua ide tentang Tuhan lahir dari yang mistis plus gaib itu. Refleksi hadirnya Tuhan hingga abad pertengahan terus menunjukkan bahwa rasio tidak mampu mengakomodir gagasan tentang Tuhan. Ia tetap tak pernah semudah jawaban.

Pada zaman Yunani Kuno, ide tentang Tuhan ditempatkan di kelas-kelas cerita bertajuk ajaib. Tokoh Tuhan selalu berada di tempat yang susah dijangkau baik dengan pengindraan maupun nalar. Aristoteles menyebut sesuatu yang tak terhingga dengan istilah motor imobil (penggerak yang tidak digerakkan). Hingga pelayaran waktu berikutnya, orang mulai pasrah. Wittgenstein mengakui hal ini, "Ada saat dimana manusia akhirnya diam. Manusia kehabisan kata-kata. Di hadapan Realitas Tertinggi, manusia tak berarti apa-apa." Pengakuan ini menunjukkan bahwa pengalaman tentang Tuhan tak sepenuhnya dibahasakan. Dalam lajur geraknya, bahasa seringkali dilihat sebagai penyetop kegiatan berpikir. 

Ketika Anda menemukan apa yang hendak Anda cari melalui aktivitas berpikir, Anda berhenti berpikir. Aktivitas berpikir yang terhenti ini pada dasarnya terjadi justru karena kita menemukan bahasa tertentu untuk mengilustrasikannya. Akan tetapi, dalam situasi tertentu juga, bahasa mengaku kalah dan berhenti berperan menyeberangkan pengetahuan yang sejatinya tak mudah diilustrasikan, dicerna dan ditutur. Pada tahap ini -- berhadapan dengan pengalaman yang tidak mungkin -- bahasa-bahasa simbolis akhirnya berperan, misalkan orang mulai menangis, orang mulai gagap, bisu, dll.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun