"Perihal ulang tahun"
Guru, manusia hidup di bawah naungan waktu
ia berputar tanpa dikehendaki oleh kita
kadangkala, kita menyesal karena lupa berpamit pada waktu yang membuatnya menjadi masa lampau tapi, perihal ulang tahun, kita mesti berdiam di depan Sang Pemberi waktu berdiam berarti berefleksi.
Berefleksi berarti membiarkan roda kehidupan berputar melihat masa lalu sebagai kenagan, masa kini sebagai perwujudan diri dan menatap masa depan sebagai harapan.*
Namanya Frans Tunggu Etu. Orang Sumba. Kami biasa menyapanya dengan: pak atau guru. Mengapa? Ia adalah guru matematika kami sewaktu SMA di Oepoi - Kupang (SMASSTRA). Cara mengajarnya khas. Hanya bawa tas dan spidol. Itu saja.Â
Ketika hendak memulai pelajaran, ia mengambil spidol, membiarkan tas tetap tertutup di atas meja guru dan menanyakan: "Minggu lalu kita sampai di mana?"Â
Setelah Alanjino, Romi Putra, Aris Miten, Luki Ibiriti, Is Wasa, Riko Mokos, Nong Jedarus dan Riki Falo memberitahukan bahan kami Minggu lalu, ia mulai menjalankan tugasnya, mengajar. Mengapa bukan saya? Sebagai orang yang kurang memiliki kemampuan perhitungan matematis, saya memilih diam (Nb: kalau pelajaran lain, jangan tanya, saya paling ribut. Hehehe.)
Kembali ke laptop (atau apalah!) Bayangkan saja, cara mengajar tanpa melihat buku pelajaran Matematika yang penuh dengan rumus-rumus doktrinal dan antik itu. Hebat kan. Inilah salah satu contoh guru yang jenius dan penuh tanggung jawab. Mengapa? Ia (mungkin) sudah mempersiapkan bahan ajarnya di rumah (kata "mungkin" mesti dipahami bahwasanya bisa saja guru kami ini sudah menguasai rumus-rumus Matematika sejak kuliah dulu).
Selain mengajar "out of the text" (cahhhh...), ada satu kekhasan lain. Biasanya, sebelum mulai pelajaran ia mengajak kami untuk pemanasan/olahraga ringan. "Ayo, semua berdiri. Lompat-lompat, bunyikan jari, putar leher dan putar tangan" (bukan putar balek-dialek Kupang). Hehe. Kami hanya senyum-senyum lalu melakukan apa yang ia pinta.
Menarik, bukan?