Mohon tunggu...
Kris da Somerpes
Kris da Somerpes Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

pendiri dan pengampu media sastra online: www.floressastra.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kisah Kecil Masa Kecil, Oh Indahnya!

3 November 2010   05:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:52 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya mengawali catatan kecil ini dengan sebuah kesimpulan dan selanjutnya adalah rekomendasi kemudian baru akan mengisahkan pengalaman masa kecil saya.

Kesimpulan: Miskinnya pemahaman dan pengetahuan kita tentang agama lain membentuk asumsi dan pemahaman yang keliru tentang agama lain tersebut. Kita membuat pembenaran-pembenaran atas nama agama di atas asumsi-asumsi tanpa memandang resiko-resiko. Pengklaiman kebenaran atas dan dalam satu agama oleh penganutnya mencerminkan bahwa penguasaan wawasan dan pengetahuan atas agama lain tergolong minim. Minimnya pemahaman dan pengetahuan kita tentang agama lain tidak hanya membentuk dalam diri kita sikap dan semangat fanatisme tetapi juga dalam praksisnya mengambil jarak atas agama yang lain. Kita enggan untuk membangun tegur sapa, sinis, dan bahkan curiga dan membangun prasangka buruk.

Rekomendasi: Saya melihat bahwa munculnya pertikaian atas nama agama dan kepercayaan adalah juga merupakan buah dari minimnya pengetahuan kita tentang agama lain. Lantaran itulah pendidikan tolerasi, di samping pendidikan agama (sendiri yang pertama dan utama) menjadi penting. Pendidikan agama menjadi tiang utama penguatan iman dan ketaqwaan masing-masing pemeluk terhadap ajaran imannya. Sedangkan pendidikan toleransi memampukan peserta didik untuk memperluas wawasan dan menambah pengetahuan tentang keberadaan agama lain.

Kisah Masa Kecil: Saya dilahirkan di pesisir Flores Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Romba, Maunori Nageko, dari keluarga penganut agama katolik yang taat. Ketika Sekolah Dasar, saya belajar di sebuah Sekolah Dasar Katolik. Namun demikian murid katolik bisa dihitung dengan jari, karena mayoritasnya adalah murid yang beragama Islam. Ketika sampai kelas enam, murid beragama katolik hanya tiga orang termasuk saya, selebihnya yang berjumlah puluhan adalah yang beragama Islam.

Setiap hari kami berdoa mengawali dan menutup pelajaran sekolah dengan berdoa secara berganti-gantian. Jika pada pagi hari kami yang beragama Katolik mengawali dengan doa ‘Bapa Kami’ maka pada akhir mata pelajaran murid-murid yang beragama Islam melafalkan ayat-ayat pendek dari Al-Quran. Lantaran kebiasaan ini, murid beragama Islam sampai hafal betul barisan kalimat dalam doa ‘Bapa Kami’, ‘Salam Maria’ dan ‘Aku Percaya’ dan bahkan tangan kanan mereka enteng membuat tanda salib pada dahi, dada dan hati. Sebuah gerakan lincah yang santun. Demikian pun sebaliknya, kami dengan mudah menghafal dan melafalkan ayat-ayat pendek dari Al-Quran. Suara-suara kecil kami melambung tinggi, memberi warna beragam, bagai paduan suara.

Jika tidak ada guru agama (dari salah satu agama yang masuk mengajarkan mata pelajaran agama) kami diajarkan tentang toleransi dengan praktek mengunjungi Kapela (gedung gereja kecil di lingkungan yang kecil) dan atau Masjid untuk sekedar memperkenalkan ‘kesakralan’ masing-masing agama supaya dihargai dan dihormati. Saya mengenal kiblat, sajadah, imam, ustadz, kubah, mukena, magrib, takbir, sunat, haram, halal, istri nabi, dan putri kesayangan Nabi Muhammad Siti Fatimah Azzhara, dan seterusnya sudah sejak itu. Demikian pula sebaliknya, murid-murid yang beragama Islam tahu betul tentang Getsemani, kalvari, gua Maria, Yesus, Natal, Paskah, rasul, santo, santa dan seterusnya sudah sejak itu pula.

Pada hari raya masing-masing agama, baik Natal maupun Lebaran kami bersama-sama turut ambil bagian dengan membersihkan Kapela dan atau Masjid. Dalam perayaan-perayaan besar, kami langsungkan bersama, saya pernah menabuh rabana sambil melantunkan lagu-lagu Islam. Demikian juga murid-murid yang beragama Islam, mereka memasuki Kapela, duduk di bangku terdepan menyanyikan lagu-lagu dari Madah Bakti.

Demikian indahnya masa kecil itu, sampai suatu ketika, persis ketika saya mengajar para santri di Pasantren Babul Mukarammah Beutung Ateuh Nagan Raya Nanggroe Aceh Darusallam saya meneteskan air mata, melihat anak-anak yang serupa saya ketika saya masih enam atau tujuh tahun. Ketika itu kami begitu lugu dan polos, tetapi lingkungan, sekolah dan keluarga tidak pernah melarang bergaul dengan siapa pun. Tidak sepatah kata pun dan apalagi niat untuk memaksakan kehendak. Kami tidak saling menggangu.

Itulah satu-satunya harta terindah yang kami miliki sebagai investasi kebersamaan di tengah keberagaman. Kami tidak punya apa-apa selain itu. Kampung kami belum punya nyala listrik ketika itu. Masih tenang di bawah terang pelita. Belum ada signal handphone apalagi kendaraan bermotor. Tidak ada hasil bumi yang dibanggakan selain laut yang banyak ikan. Tetapi dalam keterbatasan-keterbatasan itu kami tumbuh damai dan sejahtera. Hingga kini, sampai ketika kampungku sudah berubah, harta terindah itu masih tetap terjaga sebagai yang paling indah. Kami tidak akan pernah menggadaikan itu dengan kepentingan-kepentingan.

Oh indahnya…hidup dalam perbedaan. Islam itu indah, dia juga benar di mata Allah dan dunia. Demikian juga Kristiani, dia juga indah, dan benar di mata Allah dan dunia. Mari kita saling memahami dan menghargai, walau dalam iman dan keyakinan ‘kau’ dan ‘aku’ tidak harus bersatu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun