Apa jadinya hidup yang terbiasa sibuk, saat tiba-tiba diminta berhenti?
Pertanyaan itu sering muncul di kepala saya belakangan ini. Sebuah pertanyaan yang sederhana, tapi mengguncang. Saya bukan takut menua. Kerutan dan uban bukan hal yang ingin saya sembunyikan. Tapi, saya takut saat hari-hari saya tak lagi punya ritme. Tak lagi ada yang saya kejar, tak lagi ada yang saya selesaikan. Saya takut kehilangan peran, kehilangan makna.
Sejak duduk di bangku kuliah semester akhir, saya sudah bekerja. Bukan karena terpaksa, tapi karena saya mau hidup mandiri dan tidak terus meminta uang ke orangtua. Hidup saya seperti kereta yang berhenti cepat di stasiun lalu kembali melaju.Â
Selepas menikah dan menjadi ibu, saya tetap bekerja karena suka, serta mencoba menyeimbangkan peran rumah dan dunia profesional. Tidak ada jeda. Bahkan kadang saya lupa caranya berhenti.
Tidak lama lagi, pensiun mulai terasa seperti pintu yang akan segera saya lewati. Dan jujur, saya belum siap. Bukan karena saya takut kehilangan penghasilan, tapi karena saya takut tak lagi dibutuhkan. Tak lagi relevan. Tak lagi punya tempat dalam dunia yang selama ini saya jalani dengan sepenuh hati.
Perjalanan Panjang: Antara Pekerjaan, Peran Ibu, dan Diri Sendiri
Saya masih ingat betul bagaimana dulu saya menenteng tas besar berisi buku, laptop, dan botol ASI, berangkat pagi dan pulang ketika hari sudah gelap. Rasanya tak ada jeda. Di kantor, saya adalah pekerja profesional yang siap dengan berbagai tanggung jawab. Di rumah, saya adalah ibu yang tak ingin melewatkan momen tumbuh kembang anak. Sering kali, saya merasa hidup saya adalah rangkaian tugas yang terus sambung-menyambung, tapi entah kenapa, saya menikmatinya.
Saya tumbuh sebagai perempuan yang percaya bahwa sibuk bukan hukuman, melainkan anugerah rezeki dari Allah. Kesibukan membuat saya merasa hidup, terhubung, dan memberi manfaat untuk sekitar. Bahkan ketika lelah, saya lebih memilih untuk menulis atau membaca dibanding benar-benar beristirahat. Dalam kesibukan itu, saya merasa berdaya. Saya merasa ada artinya.
Namun dalam perjalanan panjang ini, saya jarang punya waktu untuk bertanya: "Kalau suatu hari semua ini selesai, apa yang tersisa dari diriku?"
Pertanyaan itulah yang kini mulai menghantui saya.
Ketakutan yang Tak Terucap: Bukan Usia, tapi Kehilangan Arti
Setiap orang pasti akan menua. Saya tidak menyangkal itu. Tapi yang sulit saya hadapi bukan keriput di wajah, rambut yang memutih atau tubuh yang tak sekuat dulu, melainkan rasa hampa saat tak lagi merasa dibutuhkan.