Mohon tunggu...
Engkos Koswara
Engkos Koswara Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah/ SMA Negeri Situraja

Semakin Berisi Semakin Merunduk

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Susetya Mayor Abdurrahman

12 Mei 2023   23:04 Diperbarui: 12 Mei 2023   23:06 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kali ini saya membahas salah satu pejuang revolusi mempertahankan kemerdekaan di Kabupaten Sumedang. Ia adalah Mayor Abdurrahman. Sosok Mayor Raden Omon Abdurrahman Natakusumah merupakan tokoh yang dikenal warga Sumedang dan Jawa Barat sebagai pejuang revolusi kemerdekaan. Dia berjuang bersama pasukannya untuk merebut wilayah Sumedang dari cengkeraman pasukan Belanda. Mayor Abdurrahman sebagai Komandan Batalyon II/ Tarumanagara dari Divisi IV/ Siliwangi terkenal dengan jiwa patriotisme dan kesetiaannya pada negara.

Pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta, Republik Indonesia belum sepenuhnya mendapat kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing, khususnya dari ancaman Belanda. Tepatnya tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan Agresi Militernya yang pertama terhadap wilayah Republik Indonesia yang telah merdeka, dimana mereka menyebutnya sebagai aksi polisional untuk mengamankan wilayah Republik Indonesia dari para penjahat perang. Belanda yang diboncengi oleh Allied Forces Netherlands East Indie (AFNEI) yakni pasukan yang dibentuk oleh South East Alied Command (SEAC) sebagai pemenang perang dunia kedua dengan tugasnya di Indonesia adalah untuk: 1). Melucuti dan mengembalikan tentera Jepang ke negaranya, dan 2). Mengupayakan pengembalian kekuasaan Belanda di Indonesia (Lubis, dkk, 2008: hlm. 239).

Agresi Militer Belanda ini pada awalnya ditujukan ke wilayah Provinsi Jawa Barat, khususnya Keresidenan Priangan. Hal ini dilakukan untuk menguasi pusat perekonomian Republik Indonesia yang mayoritas disuplay dari daerah priangan khususnya dalam hal bahan baku, untuk selanjutnya dapat melumpuhkan Republik Indonesia secara perlahan namun pasti. Keresidenan Priangan yang pada waktu itu memeiliki lima kabupaten, salah satunya adalah Sumedang tidak luput dari serangan militer Belanda ini. Ketika Belanda meancarkan Agresi Militer Belanda I, beberapa kesatuan tentara RI mundur ke Sumedang, antara lain Resimen VI pimpinan Mayor Sadikin. Batalyon 27 pimpinan Kapten Sentot Iskandar Dinata, Kompi Amir Machmud yang bermarkas di Situraja, serta Resimen V pimpinan Mayor Rambe, dan Resimen VII pimpinan Mayor Omon Abdurrahman yang bermarkas di Buah Dua. Mereka kemudian membentuk Gabungan Gerilya Djawa Barat Oetara (GGDBO) yang memiliki pasukan penggempur (mobile troep). GGDBO kemudian membangun beberapa pos pertahanan di beberapa daerah yang strategis, yaitu di sekitar Sindangjati, Sumedang Utara, Tanjungkerta, Conggeang, Cipunagara, Ciuyah, Cimalaka dan perbatasan Sumedang-Bandung Utara. Pos pertahanan ini bertujuan untuk mendeteksi pergerakan tentara Belanda sehingga dapat diketahui lebih awal oleh para pejuang.

Dalam Agresi Militer I itu, pada pukul 18.00 pasukan Belanda berhasil menahan Lili Natakusumah, Wedana Tanjungsari. Berita penangkapan tersebut sampai kepada Mayor R. Sadikin dan segera memerintahkan Danyon 27, Kapten Sentot Iskandar Dinata untuk mempertahankan wilayah Kota Sumedang yang akan dibantu oleh Kompi Lukas Kustaryo. Untuk menghambat gerak maju tentara Belanda, Kapten Sentot Iskandar Dinata memerintahkan Kompi Amir Machmud untuk menghancurkan jembatan dan membuat rintangan di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh tentara Belanda. Perintah itu dilaksanakan oleh Kompi Amir Machmud yang mendapat bantuan dari Letnan Karisman, Kepala Pabrik Persenjataan Cijeruk, sehingga gerak maju tentara Belanda terhambat. Tanggal 22 Juli 1947 tentara Belanda mulai memasuki Kota Sumedang yang dihadang oleh Kompi Lukas Kustaryo dan Kompi Mursyid sehingga terjadi pertempuran sengit selama kurang lebih dua jam. Oleh karena persenjataan yang tidak seimbang, kedua kompi itu mundur dari medan pertempuran sehingga Kota Sumedang jatuh ke tangan Belanda. Bupati R. Tumenggung Hasan Suria Sacakusumah ikut mundur ke daerah pegunungan sehingga Belanda mengangkat R. Tumenggung Muhamad Singer sebagai Bupati Sumedang. Dengan jatuhnya Kota Sumedang, pertahanan Republik dipusatkan di daerah pegunungan, diantaranya adalah daerah segitiga Dayeuh Luhur-Situraja-Margawindu (Lubis, dkk, 2008: hlm. 244).

Tanggal 17 Januari 1948, Perjanjian Renville ditandatangani yang mengakibatkan harus hijrahnya TNI ke Jawa Tengah-Yogyakarta. Akan tetapi, secara diam-diam Divisi I/Siliwangi mempertahankan pasukan territorial di Sumedang, dengan tujuan untuk membina rakyat supaya tetap setia kepada Republik Indonesia. Pasukan Teritorial ini dibentuk sampai ke tingat desa yang berada di bawah komando Mayor R. Moch. S. Hadi. Pada awalnya pasukan ini bermarkas di Tanjungkerta, tetapi kemudian berpindah-pindah supaya tidak diketahui oleh Belanda.

Ketika Divisi I/Siliwangi diperintahkan untuk kembali ke Jawa Barat (longmarch), Batalyon II/Tarumanagara di bawah Komando Mayor Omon Abdurrahman diperintahkan oleh Brigade XIII Let. Kol. R. Sadikin untuk menguasai Sumedang dan menjamin keselamatan Panglima Divisi Siliwangi yang akan berkedudukan di Buah Dua. Batalyon II/Tarumanagara segera kembali ke Jawa Barat dengan menggunakan rute Pegunungan Dieng-Karang Kobar-Gunung Slamet.

Dalam perjalanan kembali ke Jawa Barat, sekitar bulan Januari 1949, Kompi Amir Machmud dan Kompi Komir Kastaman menyerang pos pertahanan Belanda di daerah Lemah Putih, Bantarujeg, Majalengka. Serangan tersebut berhasil dengan baik sehingga Batalyon II/Tarumanagara bisa menguasai Sumedang. Setelah berhasil menguasai Sumedang, Mayor Omon Abdurrahman melaksanakan dislokasi pasukannya di seluruh wilayah Sumedang sesuai dengan yang telah direncanakan, yaitu Kompi I menguasai Tanjungsari, Rancakalong, dan Tanjungkerta di bawah Komandan Kapten Amir machmud; Kompi II menguasai Cadasngampar, Darmaraja, dan Situraja dengan Komadan Kaptem Komir Kartaman; Kompi III menduduki daerah Buah Dua, Conggeang, Tanjungkerta, Cimalaka, dan Tomo dengan Komandan Kapten Edi Sumadiprada; Kompi IV menguasai daerah Situraja, Sumedang Selatan, Sumedang Utara dan Darmaraja di bawah Komandan Kapten Somali. A.W; Komandan Batalyon II/Tarumanagara, Mayor Omon Abdurrahman berada di antara Kompi I dan Kompi III, sedangkan Komandan Staff Kompi/ Wakil Komandan, Kapten Lili Kusumah berada di antara Kompi II dan Kompi IV; Komandan Brigade XIII Letnan Kolonel Sadikin beserta staffnya berkedudukan di Kompi III (Buah Dua).

Setelah dislokasi kompi-kompi dirampungkan dan setelah direncanakan secara matang, pada 11 Maret 1949 Mayor Omon Abdurrahman memerintahkan semua Kompi untuk menyerang pos pertahanan tentara Belanda secara serentak. Serangan ke Kota Sumedang dilakukan oleh Seksi I/Kompi IV di bawah pimpinan Letnan II R. Abdul Rojak. Sementara itu, Kompi I Amir Machmud menyerang pusat pertahanan militer Belanda di Tanjungkerta dan Kompi II Komir Kartaman menyerang daerah Darmaraja (Sukatma, 1995: hlm. 54).

Serangan itu membuat tentara Belanda kewalahan dan hanya bisa bertahan. Petinggi militer Belanda di Sumedang kemudian meminta bantuan ke Bandung untuk mengirim dua Kompi Speciale Tropen Koninklijk (Baret Hijau) ke Sumedang. Berita itu sampai kepada Mayor Omon Abdurrahman dan langsung memerintahkan Kompi IV A.W. Somali untuk melakukan penghadangan di daerah Cadas Pangeran. Pada 21 Maret 1949, pasukan Kompi IV telah siap melakukan serangan kepada Pasukan Baret Hijau Belanda. Keesokan harinya, terjadilah pertempuran di daerah Kampung Anjung yang menewaskan 18 orang tentara Baret Hijau Belanda. Pasukan Baret Hijau tidak bisa dihentikan oleh Kompi Somali dan berhasil menguasi sepenuhnya Kota Sumedang. Mereka terus bergerak untuk menyerang Darmaraja, Wado, Cadasngampar, Conggeang, dan Buah Dua. Mayor Omon Abdurrahman yang sedang berada di Sumedang Utara, segera kembali ke Buah Dua untuk menyelamatkan Kolonel Sadikin, Panglima Divisi I/Siliwangi (Lubis, dkk, 2008: hlm. 246-247).

Tanggal 11 April 1949 sekitar pukul 03.00 Kolonel Sadikin berhasil diselamatkan dengan dikawal kurang lebih 100 pasukan. Namun, malang bagi Mayor Abdurrahman dan dua prajuritnya. Sekitar pukul 05.00 ia diserang dua kompi pasukan Baret Hijau Belanda. Komandan Batalyon II/ Tarumanagara tersebut tertangkap dan disiksa secara keji di Balai Desa Cibubuan (sekarang perbatasan Kecamatan Conggeang dan Kecamatan Buah Dua) agar mau menunjukkan dimana keberadaan Panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Ali Sadikin.

Mayor Abdurrahman tetap tidak mau memberikan informasi tentang keberadaan Kolonel Ali Sadikin, ia tetap bersikukuh mempertahankan kesetiaannya atau susetya pada negara Indonesia. Meski akhirnya ia pun gugur karena ditembak di bagian kepala. Prajurit-prajurit yang ikut gugur, yaitu Kopral Karna, Kopral Darsono, Sersan Dahlan, Prajurit Soleh, beserta warga sekitar Tirta dan Suwita turut gugur pula Kepala Desa Cibubuan, Soma. Sampai sekarang setiap tanggal 11 April selalu diperingati setiap tahunnya sebagai hari yang bersejarah bagi masyarakat Sumedang. Bahkan Mayor Abdurrahman diabadikan menjadi nama salah satu jalan protokol di Kabupaten Sumedang. Hal ini untuk menghargai pasukan Batalyon II/ Tarumanagara dibawah pimpinan Mayor Abdurrahman yang berjuang merebut wilayah Sumedang dari jerat kolonialisme Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun