Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pengultusan dan "Mahalnya" Nona Suku Lamaholot

24 April 2017   13:51 Diperbarui: 25 April 2017   03:00 1573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak jelas dari mana asal usul gading tersebut, padahal tidak ada gajah yang hidup di Flores. Namun menurut rumor beberapa orang, gading-gading tersebut merupakan peninggalan purba dari hewan mirip gajah dengan ukuran mini yang fosil-fosilnya ditemukan di Flores.

Namun felix buru-buru menbantah asumsi ini, ia menilai gading itu berasal dari pedagang-pedagang gujarat yang berdagang di sana tahun 1600-an silam. Gading tersebut berasal dari India, Malaka, dan Sumatera.

"Nanti gading pasti ada yang punya karena sebenarnya peninggalan pedagang India sahingga dulunya kalau orang yang memiliki uang mereka barter misal dengan tenunan ditukar gading terus dianggap gading  mahal lalu dijadikn mas kawin," tambahnya.

Setelah pendudukan Belanda, para pedagang mulai mencari daerah baru dan meninggalkan banyak barang dagangan mereka termasuk gading. Melihat keadaan tersebut, warga mengambilnya dan dijadikan warisan keluarga.

"Gading seperti warisan keluarga, jadi banyak yang menyimpannya sebagai harta. Jika diperlukan akan diberikan kepada anaknya. Sehingga gading akan mutar saja di sini, jadi warga tak pernah kehabisan stok gading," lanjutnya.

Bukan hanya gading, beberapa seserahan hewan seperti kambing acap kali diberikan saat pernikahan adat suku lamaholot dilangsungkan. Harga kambing di sana bisa mencapai Rp 7 Juta jika memiliki tanduk yang kokoh. Untuk menyiasati pengeluaran, keluarga mempelai pria sering membeli kambing lain dari daerah luar semisal Witihama.

"Tapi penjual di sana juga jeli, kalo mereka tau untuk menikah dinaikan harganya. Banyak orang sini yang meminta bantuan kerabat di sana yang membelinya agar harganya standar, sekitar Rp. 1 hingga 2 juta," tambah Iwan.

Permainan harga ini bisa terjadi lantaran para penjual hewan di luar Larantuka mengetahui pernikahan adat suku lamaholot. Perbedaan bahasa di setiap daerah di wilayah timur menjadi satu cara penjual kambing di luar Larantuka mengambil keuntungan, mengingat banyak perbedaan logat dan bahasa daerah yang kentara antar satu pulau bahkan kabupaten.

Sosok wanita di pandang amat tinggi oleh masyarakat Larantuka. Salah satu peraturan adat di sana menyatakan bahwa jika ada sepasang muda mudi sedang bersama tanpa ada ikatan, mereka harus membayar dengan gading.

Sayangnya kami tidak bisa melihat rasio tentang efek tradisi yang cukup mahal ini berdampak pada jumlah wanita yang masih melajang. Tapi menurut Iwan dan Felix, ada saja wanita yang belum menikah di Larantuka.

"Karena sulit, banyak yang hamil di luar pernikahan. Akhirnya terpaksa mereka di kawinkan dengan mahar uang. Prosesi adatnya nanti, yang penting di kawinin dulu," lanjut Iwan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun