Meski larangan mudik masih dikaji dampak sosial dan ekonominya, tetapi kita perlu tahu bahwa pembatasan ini adalah salah satu cara yang perlu dilakukan untuk memutus jaringan penyebaran virus Covid-19 dari satu daerah ke daerah lainnya.
Pasalnya, kita mesti belajar dari pengalaman China yang mengalami lonjakan kasus Covid-19 pasca Hari Raya Imlek. Selain Provinsi Hubei, virus juga menyebar ke seantero China karena mobilitas masyarakat yang tinggi selama Imlek.
Kita tahu, ada begitu banyak dilema di balik imbauan #janganmudik. Bagi pekerja harian yang kesulitan memenuhi kebutuhan di Tanah Rantau, mudik adalah salah satu tindakan logis untuk bertahan hidup. Belum lagi momentum bulan Ramadan yang selalu dirindukan oleh perantau untuk pulang.
Sementara itu, jelang musim mudik tahun ini, Kemenhub akan memperketat protokol keamanan transportasi publik untuk semua moda, baik darat, laut, udara, maupun perkeretaapian.
"Melihat kondisi sudah banyak masyarakat yang melakukan perjalanan ke luar Jakarta, Kemenhub akan terus mengampanyekan tidak mudik dan tidak piknik demi mencegah menyebarnya wabah Covid-19," ucap Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati, seperti dikutip dari Kompas.com.
Menurut Kamu, bagaimana sebaiknya polemik ini dihadapi? Misal, apakah kamu memiliki usulan supaya pemerintah mempersiapkan sejumlah skenario mudik? Mungkin persiapan griya tampung untuk mengisolasi pemudik selama 14 hari? Jaringan internet gratis untuk melakukan video conference dengan keluarga saat Lebaran supaya tak perlu mudik, misalnya?
Atau, bagaimana cara kamu meyakinkan anggota keluarga lain yang bersikeras supaya kamu mudik tahun ini? Silakan bagikan kisah/opini Kompasianer dengan menambahkan label Imbauan Jangan Mudik (menggunakan spasi) pada setiap konten yang dibuat.