Ini bukanlah kisah risakan. Kapok aku menulis risakan lagi. Nanti dianggap sebagai Kompasianer yang tidak serius (baca: cerewet).
Tapi, tidak boleh juga mengabaikan konflik yang terjadi. Tersebab semua isi hati serasa ditelanjangi. Konon, konflik seperti ini sudah sering terjadi. Sejak Pak Tjiptadinata masih ingusan di K.
Katanya juga banyak penulis yang tidak lagi berbagi. Melegenda jauh sebelum Acek masih suka liweran sendiri. Aihhh.
Dinamika tidak bisa dihindari. Ke depannya nanti, akan semakin banyak penulis baru yang berseliweran. Sebagian dari mereka mungkin akan lama sekali, sebagian lagi mungkin hanya sesaat sebelum hilang ditelan bumi. Kita lihat saja.
Tapi, Acek ingin kembali kepada hakekat. Sekali menjadi Kompasianer, ia akan terus menjadi Kompasianer. Syaratnya pun mudah. Cukup mendaftar dan menelurkan satu tulisan saja.
Tapi, tidak sesederhana itu sobat. Kompasiana pun sendiri mengakui adanya status dan derajat. Makanya ada warna centang, juga statistik, dan status.
Pun setiap Kompasianer sudah memiliki idolanya masing-masing. Ada yang diperhatikan, ada pula yang masih gelap berbayang.
Intinya, Kompasiana ini bagaikan sebuah ruangan tak terbatas, tempat para penghuninya menumpahkan ekspresi, saling membalas apresiasi, dan mencintai kebebasan berliterasi.
Namun, di sanalah letak keunikannya. Membuat ruang ini serasa labirin yang tak pernah habis dijelajahi. Atau bahasa sederhananya adalah; Ketagihan.
Bahkan ada yang sampai ke tahap Wibu (meminjam istilah anime). Hari terasa tidak lengkap tanpa menulis di K. Merasa bersalah jika tidak blogwalking, dan pikiran tidak tenang jika belum mengunjungi situs.