Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filosofi Doa dan Harapan

5 Desember 2019   21:15 Diperbarui: 5 Desember 2019   21:14 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: dokpri

Banyak orang yang bilang bahwa; ber-doa berarti berharap, ia mengaharap sesuatu pada dirinya tentang apa yang belum mereka ketahui. Memang bukan suatu kesalahan baik berdoa maupun berharap; kepada siapapun itu menurut penafsiran manusia masing-masing.

Terkadang yang tidak disadari itu, keduanya antara harapan dan doa sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat mempengaruhi hidup manusia secara tidak sadar dalam waktu kehidupannya.

Tetapi dalam kelelahan akan bentuk kehidupan yang terjalani ini. Kita tidak dapat memungkiri kehidupan memang sangatlah melelahkan bagi kita manusia. Juga aku yakin bagi mereka mahkluk hidup yang sama seperti kita, memperjuangkan kehidupan diwaktu yang sama.

Tentang berbagai gantungan sikap untuk terus dalam memotivasi hidup itu sendiri, memang jika dirasa sangat diperlukan bagi manusia. Oleh karena itu, dalam hidup menjadi manusia "nihil" memang mungkin diwujudkan, tetapi apakah nihil sebagai jawaban untuk mengisi kehidupan dalam menjadi manusia itu? Dalam arti tanpa doa maupun harapan dalam menjalani hidup ini?

Tentu sepertinya penyesalan merupakan bentuk dari apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh yang sedang menjalani hidup. Namun dalam berbagai kehidupan, bukankah banyak hal yang bisa manusia lakukan dalam mengisi hidupnya sendiri termasuk; tidak menjadi manusia nihil pada akhirnya?

Mungikin dalam dugaan ini, sikap nihil adakalanya diperlukan jika memang harapan dan doa manusia tersebut tidak untuk harus diwujudakan secara nyata diwaktu kehidupannya. Istilahnya mengiklaskan diri sebelum berdoa dan berharap; menjadi nihil disini juga perlu dilakukan agar tidak terlalu kecewa nantinya baik terhadap diri atau sesuatu yang ada diluar dirinya.

Karena bukan apa, justru sesuatu yang sakral tersebut seperti doa dan harapan itulah yang banyak mengecewakan manusia. Seyoganya berharap dan berdoa memang harus dapat mengukur diri terlebih dahulu. Bukan ia dibatasi, doa dan harapan memang tidak pernah salah, yang salah ketika itu tidak terjawab; adalah manusia sendiri yang berlebihan dalam mengaharap antara harapan dan doannya, untuk mewujud sebagai mana keinginan yang mendasari harapan dan doa tersebut.  

Inilah yang terkadang dalam diam itu seperti terngiang setiap harinya. Lelah mengaharap ketika itu jauh dari kenyataan, apakah kita akan terus tetap mengharap sebagai bagian dari harapan itu sendiri dalam doa-doa kita? Ataukah lebih baik harapan dan doa itu tiada, hanya ada usaha dan usaha, tetapi tanpa berpikir hasil "asal" dalam usaha tersebut membuahkan kebahagiaan bagi  manusia sudah cukup?

Kemungkinan; sepertinya manusia harus terus berpikir untuk hidupnya, sebab saat berbicara: mungkin bukan berarti berbicara potensi untuk terwujud, lebih dari itu, manusia dalam usahanya; disanalah nantinya akan berbicara hasil!

Jadi setiap apa yang diusahakan merupakan sesuatu "mungkin" untuk terjadi, tetapi bagaimana dengan harapan dan doa itu? Disini mendekati jelas dapat kita sebut: setetes embun dipagi hari yang terus membuat ide-ide usaha dalam diri, supaya ia tetap terekam sebagai afirmasi dalam pikiran manusia. Namun tetap usaha dalam mewujudkannya melampaui doa-doa atau harapan-harapan tersebut.

Hidup mau menjadi apa memang siapa yang tahu, semua serba enigma, yang sebenarnya hanya dibutuhkan usaha dalam setiap ketekunan-ketekunan itu untuk mewujudkannya. Seperti kita akan lahir didunia ini, apakah kita tahu hidup ini untuk apa? Atau dengan sebagaimana hidup yang sepenuhnya harus disadari dan dijalani tanpa sedikit bertanya-tanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun