Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Money

Problematika Upah Minumum Regional

19 Februari 2019   21:44 Diperbarui: 11 April 2019   18:45 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: indahros.co.id

Berdagang bukan lagi sekadar saling membantu sesama manusia. Normalnya berdagang memang mencari untung, tidak ada yang mau rugi. Namun kebanyakan berdagang kini ingin mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan bagaimana pembeli akan tetap membeli dagangannya. Kalau bisa dapat untung banyak mengapa tidak?

Itulah prinsip pedagang muktahir. Begitupun dengan empati yang semakin luntur, kepedulian akan nasib kantong pas-pasan cenderung kering hampir sudah tidak dipedulikan. Sebisa mungkin dengan berdagang, para pedagang bisa kaya mendadak tanpa peduli bagaimana caranya pembeli membeli dagangannya. Yang tidak disadari kadang, mereka sudah bekerja begitu keras namun hanya cukup membeli beberapa dari banyak kebutuhannya.

Jika dipikir seperti tidak akan sampai, namun beginilah dunia ekonomi nasional muktahir. Semua yang bercita-cita menjadi pedagang hanya ingin kaya secara cepat karena hanya berdaganglah yang dapat mencari untung dengan tidak melanggar hukum negara. Untung banyak atau sedikit tidak ada dalam regulasi berdagang dalam suatu negara. Ditambah dengan aturan pengupahan setiap daerah yang cenderung tidak berimbang.

Upah Minimun Regional dan Problematikanya

Memang seharusnya harga-harga pasar diatur dengan jumlah pendapatan rata-rata orang Indonesia ditingkat regionalnya. Jika harga kebutuhan naik operasi pasar cenderung menyasar kota-kota besar. Celakanya daerah pun mengacu harga pada tingkat kota-kota besar, maka dari itu kebutuhan pokok berpatokan pada harga nasional bukan harga regional.

Tidak berimbangnya upah pada masing-masing daerah memicu kemiskinan baru di daerah dengan tingkat UMR rendah. Di mana tidak sesuainya antara pendapatan dan pengeluaran menjadi biang masalah kemiskinan baru.

Sistem ekonomi nasional membuat harga semakin merata dan dijadikan acuan para pedagang  memberi harga. Belum lagi regulasi UMR di setiap daerah rendah memaksa masyarakat membeli dengan beban yang sama dengan UMR tinggi. Jelas sistem seperti ini akan merugikan masyarakat dengan tingakat UMR rendah.

Jika anggaran rata-rata kebutuhan hidup layak nasional sekitar 3 juta, maka jika UMR hanya 1,5 juta, akses masyarakat pada nilai kurangnya melalui apa? Inilah biang dari kantong kering berbalut kemiskinan masyarakat muktahir.

Seharusnya yang menjadi acuan adalah upah minumun regional masing-masing. Ukuran kehidupan layak perlu disesuaikan dengan harga-harga kebutuhan pokok nasional agar potensi kantong untuk kering berkurang. Semua itu berlaku baik para kaum urban atau untuk kaum yang berdiam di regional tersebut. Sangat tidak layak kan? Kebanyakan harga pokok kini merata secara nasional sedangkan UMR setiap wilayah berbeda-beda. 

Semisal di Jawa Tengah, UMR rata-rata 1,8 juta, harga kebutuhan pokok paling selisih 500 hingga 1000 dari UMR  Jabodetabek rata-rata 4,5 juta. Itulah dasar mengapa kantong kering banyak terjadi di regional dengan UMR yang rendah. Sudah seharusnya UMR suatu daerah mengacu pada kebutuhan hidup layak secara nasional bukan kedaerahan lagi.

Merupakan hal yang penting dalam berdagang yaitu menguntungkan dua pihak antara penjual maupun pembeli. Tetapi keadaan saling menguntungkan ini sangat jarang terjadi di zaman muktahir kini. Sangat jarang warung-warung makan atau sembako murah dan enak, cocok di kantong semua kalangan. Nasi lauk telur antara Jakarta dan pekalongan paling selisih antara 1000 hingga 2000 rupiah saja. Namun jika dilihat UMR-nya bisa 3 kali lipat UMR  Kota Pekalongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun