Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cermin

16 September 2021   11:06 Diperbarui: 4 Oktober 2021   21:45 259 33
Kemarau tak lagi membenci hujan. Senja sejak tadi beraroma gerimis. Dan, baru saja dilengkapi seduhan segelas kopi di atas meja. Kau tersenyum.

"Diminum, Mas."
"Terima kasih, Cantik!"

Langkah kakimu mengayun ringan, mengajak tubuhmu menghilang dari ruang tamu.

Kusesap ujung gelas berkopi darimu.

***

Ah, kukira kau terlalu muda untuk lupa, sekadar membubuhkan satu setengah sendok gula.

Apakah sudah berlaku, satu pesan dengan satu kata, "Kopi!" memang dimaknai sebenar-benarnya campuran air mendidih dan serbuk kopi? Jika benar, sejak kapan?

Aku belum lupa rasa segelas kopi di kedai-kedai tepi jalan yang pernah kusinggahi. Mengenang tawaran setiap tuan rumah saat bertamu. Memang yang tersaji segelas kopi dan rasa pahit. Tapi sedikit. Tak sepenuhnya pahit!

Kau juga sepertiku. Sejak televisi harus terjual di awal tahun, tak lagi bisa menonton berita. Semisal tentang harga gula yang terus melonjak naik di pasaran. Mungkinkah mulai hari ini, nilainya semakin melambung tinggi hingga tak lagi terbeli?

Kita mesti berhemat, Mas!

Masih lekat di ingatanku kalimat itu. Dua hari lalu. Setelah mesin jahit peninggalan ibumu, terpaksa berpindahtangan pada seorang teman lamamu.

Aku memilih bisu hari itu. Bagimu, tindakan itu sebagai pengorbanan untuk bertahan. Namun, bagiku sebuah kegagalan berujung satu pertanyaan. Mampukah aku menjagamu hingga usia senja?

Haruskah senja ini, kau anggap waktu yang tepat untuk kembali menghapus daftar kebahagiaan yang masih tersisa. Menikmati segelas kopi buatanmu. Tanpa gula.

Mengapa tak kau beritahu, jika tak lagi ada gula untuk kopiku? Usai segelas kopi tersaji untukku, kau segera berlalu dari ruang tamu.

Atau ini adalah caramu menunjukkan sikapmu padaku?

Memaksaku kembali menghitung ulang pergantian siang dan malam, untuk menakar sejauh dan sedalam apa dirimu mengenalku?

Kau masih ingin bersamaku?

***

Maafkanlah. Tak mungkin aku melewati pintu di ruang tamu, tanpa terlihat olehmu. Sama halnya, tak mungkin aku menolak pintamu.

Semoga, kau hanya menganggap aku lupa membubuhkan gula ke dalam kopimu. Sebab hanya itu yang kutahu, satu-satunya sisa keberanian yang masih kau miliki. Meminta segelas kopi.

Tak perlu kau tahu caraku, agar setiap hari, dua gelas kopi selalu tersaji untukmu. Biarlah itu menjadi rahasiaku. Dan, salahku terlupa memeriksa tempat gula.

Maafkanlah untuk kali ini. Tapi aku tak ingin berjanji. Hari ini, kesalahan kedua yang kulakukan padamu. Setelah peristiwa dua hari lalu.

Bukan maksudku menyakiti rasamu. Tanpa sengaja, kalimat dari mulutku meluncur begitu saja hari itu.

Adalah bohong, jika aku tak merasa kehilangan televisi itu. Benda itu adalah kenang-kenangan dari teman-teman sekantor setelah aku berhenti bekerja, menikah dan hidup bersamamu.

Juga sebuah kebohongan, jika aku tak akan merindukan mesin jahit itu. Satu-satunya yang tersisa untukku. Menjemput pulang ingatan untuk kembali merasakan kehangatan seorang ibu. ibuku.

Akupun memahami situasi yang kau alami saat ini. Apapun yang terjadi, harus dijalani. Aku telah memilihmu. Dan, kau adalah hidupku.

Tak akan berubah. Hingga batas ruang dan waktu tak lagi mengenal arah.

***

Kau kembali hadir di ruang tamu. Duduk tertunduk di hadapku. Membisu.

Airmata itu. Mengusik rasa manis dari sajian segelas kopi pahitku.

***

Dari sorot matamu, aku percaya padamu. Airmata dan segelas kopi tanpa gula, tak akan mampu menghapus kita.

Hingga senja usia.

Curup, 16.09.2021
Zaldy Chan
(Ditulis untuk Kompasiana)




KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun