Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku Ceritakan Padamu tentang Acil, Temanku Semasa Kecil

9 Desember 2019   13:25 Diperbarui: 9 Desember 2019   15:59 155 31
Sepertiku, kau pasti pernah melihat fotonya terpajang di dinding kelas, tergantung lebih tinggi dari papan tulis. Bertahun, foto itu seakan abadi terpasang di posisi sebelah kanan, walau gambar pasangan di sebelah kiri acapkali berganti. Kau mengingatnya?

Raut wajah tenang yang menawarkan kedamaian, garis senyuman yang mengguratkan ketulusan dan tatapan mata teduh yang menyiratkan keteguhan. Saat itu, banyak orang-orang mengaguminya. Kau tahu, kan?

Duduklah sejenak, dan dengarkanlah! Biarkan Aku bercerita tentang Acil. Kau mungkin tak sempat mengenal temanku semasa kecil itu. Akupun tak menyimpan foto Acil. Akh! Kau pasti mengerti kehidupan orang kampung sepertiku saat itu.

"Aku ingin seperti dia!"

Begitulah! Berkali dan tak terhitung lagi, jari telunjuk Acil mengarah pada foto yang terpasung berdebu di depan kelas. Setiap kali ditanyakan cita-cita atau mimpinya, oleh guru-guru dan teman-teman sekelas.

Aku sedikit lupa kapan persisnya. Mungkin waktu kelas empat, atau kelas lima. Saat itu, Acil diminta tampil membaca puisi di kantor Bupati. Satu hari sebelumnya, Acil memaksaku menemani ke tempat penyewaan buku.

Nyaris satu jam mencari dan membolak-balikkan banyak majalah, hingga mengundang tanya bernada marah dari pemiliknya.

"Sebenarnya, kau cari apa?"
"Puisi, Bang!"
"Kan banyak! Itu, majalah di tanganmu..."
"Bukan ini!"
"Maumu tentang apa?"

Ajaib! Tak lagi ada amarah atau wajah jengkel. Pemiliknya, membiarkan Acil dan aku membongkar majalah anak-anak yang telah disusun rapi. Benar kata Acil, semua orang akan mendapatkan yang diinginkan. Syaratnya hanya satu. Mau.

"Bang! Boleh aku salin ke buku, ya?"
"Iya! Tapi itu judulnya, PRESIDENKU?"
"Biarlah!"

Kau tahu? Keesokan harinya, setelah istirahat kedua. Acil mengajakku ke kantin. Wajahnya ceria, sambil menepuk pelan saku baju putihnya. Aku melihat bayangan uang di sana.

"Aku traktir!"
"Wah! Bupati memberimu uang?"
"Kepala sekolah!"

Aku tertawa. Dan segera berhenti, saat Acil menyerahkan selembar kertas putih, kulihat sebuah puisi dari tulisan tangannya. Aku kembali tertawa, saat membaca judul yang ditulis dengan huruf besar. Tak hanya judul, Acil juga mengubah seluruh puisi itu.

"AKU INGIN JADI PRESIDEN?"
"Iya. Kuubah semua, termasuk judul!"
"Terus, kenapa kemarin..."

Tak perlu kujelaskan jawaban Acil. Temanku itu, memiliki banyak alasan yang membuatku malu. Acil tak suka meniru apalagi menipu.

Sebaiknya, kuceritakan satu rahasia, ya?

Masaku dulu, tidak sah mengaku sebagai anak laki-laki, jika tak bisa memanjat pohon. Nah, Acil adalah satu-satunya temanku yang tak bisa memanjat. Akh! Kau jangan tertawa! Dengarkan dulu alasannya!

Pernah sekali waktu. Saat hari libur, dengan alasan memancing belut, kuajak Acil ke sawah di belakang rumah. Tapi sasaranku adalah pohon jambu biji Pakde Maksum. Kau masih ingat? Iya, sudah lama meninggal dan mantan Kepala Desa.

"Kalau mencuri jambu. Aku tak mau lagi berteman denganmu!"

Mata Acil menatap tajam padaku. Sejak pagi, tak satupun belut didapatkan. Dan Acil membaca gerak langkahku, saat mendekati pohon jambu.

"Iya! Kita istirahat di dahan saja. Kan, teduh?"
"Jangan ambil jambu. Janji?"
"Iya!"
"Kau saja yang memanjat. Aku duduk di bawah!"

Aku menelan tawa, saat Acil ungkapkan alasannya, selain karena pohon itu milik orang, ibunya juga melarang. Sebab, jika memanjat sembarang, ada kemungkinan mengambil milik orang. Akupun baru menyadari, jika Acil tak memiliki pohon di rumahnya.

Entahlah! Mungkin alasan yang aneh dan tak masuk akal. Tapi Acil yang kukenal, memang seperti itu. Anak yang patuh terhadap orangtua apalagi larangan ibu.

Puluhan tahun. Sejak tamat SMA, aku tak lagi pernah bertemu dengan Acil. Karena dia melanjutkan kuliah di Surabaya. Terakhir, kudengar Acil bekerja di Jakarta. Itupun dari cerita beberapa teman. Bahwa Acil telah menjadi orang dan sukses di Ibukota. Aku melihatnya beberapa kali di televisi. Dan aku percaya.

"Acil malu padamu!"

Itu jawaban beberapa orang yang pernah bertemu Acil. Saat kuceritakan keluhan dan rasa heran, karena tak pernah mengangkat dan membalas pesan dari ponselku. Namun aku berusaha mengerti walau tak memahami alasan Acil menutup pintu berhubungan denganku.

Tapi aku tahu jawabannya pagi tadi. Saat menonton berita pagi di televisi.

Nah! Sekarang, coba kau baca koran ini. Baru saja kubeli! Coba perhatikan sosok berbaju oranye, yang berdiri paling tengah. Dengan tangan diborgol, mengenakan kopiah dan berkacamata hitam.

Benar! Itu adalah Acil. Temanku semasa kecil.

Sudahlah! Tak perlu bertanya! Kau baca saja sendiri. Kenapa Acil tertangkap dan dianggap korupsi.

Aku masih memikirkan cara menyampaikan satu lagi rahasia Acil. Tentu saja bukan rahasia tentang Acil yang tak bisa memanjat pohon jambu, kan?

Aku harus pergi! Sebaiknya aku bergegas ke kuburan ibunya. Biarlah beliau tahu berita tentang Acil itu dariku. Bukan dari orang lain.

Akh! Sungguh! Aku belum menemukan cara terbaik untuk menyampaikannya.

Kau tahu?

Curup, 09.12.2019
zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Selamat Hari Anti Korusi Internasional

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun