Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

4 Program Merdeka Belajar yang Tidak Akan Benar-benar Merdeka di Era Revolusi Industri 4.0

29 Februari 2020   19:42 Diperbarui: 29 Februari 2020   19:40 548 1
Sebagai pondasi dasar sebuah era baru di dunia pendidikan, 4 program merdeka belajar yang telah dicanangkan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim tentunya patut diapresiasi.

Dari sekian banyak menteri yang silih berganti mengisi pos bidang pendidikan, baru kali ini muncul gagasan dasar decoupling atau lepas dari masa lalu sistem pendidikan yang (maaf) begitu-begitu saja.

Tapi yang perlu dicermati lebih jauh dari program belajar merdeka ini apakah akan benar-benar mampu memerdekakan sistem belajar bangsa ini di 4.0? Nanti dulu...

Akan saya ambil 1 poin penting dari 4.0 adalah kebutuhan tentang disruptive innovatif, dan mari sedikit kita pahami sejarahnya:

Istilah "disruption" dicetuskan oleh Clayton Christensen 1997, The Innovator's Dilemma. Di dalamnya, Christensen memperkenalkan gagasan "disruptif innovation" di dalam dunia bisnis. Ia menggunakan ungkapan ini sebagai cara untuk memikirkan perusahaan yang sukses tidak hanya memenuhi kebutuhan pelanggan saat ini, namun mengantisipasi kebutuhan mereka di masa depan. Teorinya menjelaskan bagaimana perusahaan kecil dengan sumber daya yang minim mampu memasuki pasar dan menggantikan sistem yang sudah mapan.

Ketika kita tarik kembali pada persoalan sistem pendidikan, maka 4 program merdeka belajar adalah  langkah awal yang diambil oleh Mas Menteri, decoupling dari sistem yang lama, untuk menciptakan sebuah sistem baru.

Lantas jika program tersebut baru pada tahapan langkah awal, maka apa langkah selanjutnya?

Jika mengacu kepada tuntutan jaman disruptif innovatif 4.0, maka langkah selanjutnya adalah tentu efisiensi. Salah satu bentuk efisiensinya tentu mengarah pada IOT (internet of things), di mana sistem dan metode pembelajaran mulai menggunakan infrastruktur digital. Seperti apakah itu?

Kebutuhan ruang-ruang mengajar akan mulai ter-disrupt. Sebuah lembaga pendidikan tidak lagi memerlukan ruang kelas yang banyak, karena proses belajar bisa dilakukan secara mandiri melalui kelas-kelas digital. Selebihnya praktik langsung di dunia nyata. Penggunaan kelas hanya beberapa kali saja, dan bisa dilakukan secara bergantian. Bisa dibayangkan berapa rupiah yang terpangkas jika hal ini benar-benar terwujud? Lembaga pendidikan tidak perlu membangun ruang terlalu banyak, tidak perlu mengeluarkan biaya operasional listrik dan air yang terlalu tinggi, dsb. Hal ini, secara otomatis berdampak pada turunnya biaya yang harus dibayarkan oleh pelajar atau mahasiswa.

Bukan hanya itu. Kebutuhan tenaga pendidik, tenaga administratif, tenaga lain-lain juga mulai ter-disrupt. Karena 1 orang pendidik yang berkompeten, akan mampu handling proses belajar mengajar dengan jumlah peserta didik tidak terbatas jika menggunakan teknologi digital. Urusan administratif juga bisa diserahkan pada Bot-bot yang telah ditanami artificial intellegent. Sehingga tidak berlebihan jika 'Bossman Sontoloyo' Mardigu Wowiek memprediksi tenaga pendidik yang dibutuhkan jika sudah menggunakan infrastruktur digital hanya 30% saja dari jumlah tenaga pendidik yang ada sekarang.

Apakah efisiensi sistem seperti ini bisa diaplikasikan? Tentu bisa! Sudah ada  kok contohnya seperti Gojek; apakah gojek punya armada ojek sendiri? atau Marketplace semacam Toped, bukalapak, atau Shopee; apakah mereka punya produk dan gudang sensiri? Gak, kan? Maka bukan tidak mungkin juga bukan jika lembaga pendidikan memiliki siswa hingga ribuan tapi gak punya ruang kelas dan hanya dihandle oleh segelintir tenaga pengajar? Sangat mungkin! Gak usah jauh-jauh ngebayanginnya, untuk sekedar prototype-nya saja udah kelihatan dari Startup Ruang Guru.

Justru pertanyaan yang jauh lebih penting daripada sekedar berdebat tentang seberapa besar kemungkinannya, adalah apakah kita sudah benar-benar bersiap untuk decoupling--lepas dari masa lalu sistem pendidikan yang telah bertahun-tahun nyaris tidak berubah sama sekali?

Kesiapan ini menjadi penting karena problem terbesar dari bangsa ini adalah berkecenderungan gagap dalam menerima perubahan. Memahami demokrasi belum juga terkuasai dengan benar hingga 22 tahun karena gagap dalam menerima perubahan. Memahami perkembangan teknologi wearable device belum sampai, bahkan pada fase mengenal saja tidak tuntas, sehingga masih saja ada yang percaya virus corona bisa menular melalui hape xiaomi :D

Bukan hanya gagap, tapi petinggi-petinggi yang sudah kadung nyaman di lahan basah dunia pendidikan pun perlu dibabat habis ala-ala Mas Menteri BUMN. Karena hambatan terbesar dari lompatan decoupling ini ya salah satunya pada persoalan ini. Sehebat apapun gagasan yang ditawarkan, tapi ketika pada akhirnya mengganggu kenyamanan oknum petinggi di dunia pendidikan, ya... bakalan melempem di tengah jalan.

Maka tugas berat dari seorang Nadiem bukanlah pada bagaimana merealisasikan gagasannya. Tantangan terberat justru pada persoalan mempersiapkan semua perangkat pendidikan dari tingkat atas hingga akar rumput untuk mulai berpijak pada gagasan awal decoupling yang telah dicanangkan, dan lantas mendorong pada disruptif innovatif model yang akan dicapai.

Jika saja persoal kesiapan akan capaian disruptif innovatif di era 4.0 ini tidak mampu terkomunikasikan dan terealisasi dengan baik, maka gagasan awal 4 Program Merdeka Belajar selamanya tidak pernah bisa memerdekakan diri dari kegagalan sistem pendidikan yang 'basah' dan nyaris tanpa perubahan sejak ratusan tahun yang lalu.

So? Merdeka atau 'beginu-beginu' atau 'begiti-begiti' saja?

Malang, 2020

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun