Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Pilihan

Serupa tapi Tak Sama: Mengobati Jerawat dan Patah Hati

19 Oktober 2021   06:54 Diperbarui: 20 Oktober 2021   09:01 315 7
Ngobrolin jerawat, serasa ngobrolin teman lama yang setia.

Setia membuat gusar, maksudnya

Sejak awal masa puber, jerawat selalu menjadi bagian hidup saya. Dari yang hanya satu dua sampai sepenuh muka.

Saya yang sebelumnya diam-diam punya hobi narsis di depan cermin sambil menarik-narik hidung yang tak kunjung mancung, mendadak menjadi benci sekali dengan yang namanya cermin.  

Saya berusaha menghindari cermin habis-habisan. Takut percaya diri semakin tergerus habis kalau terlalu lama menatap bayangan saya disana.

Dengan semangat membara ingin punya wajah mulus bebas jerawat, saya mengikuti semua petunjuk cara mengatasi dan mengobati jerawat yang saya baca di sebuah artikel kesehatan majalah remaja yang populer saat itu.

Jaman saya remaja dulu masih belum ada yang namanya mbah google, apalagi smartphone.

Iya, setua itu saya:)

Saya pun rajin membersihkan wajah dengan sabun muka dan lotion pembersih, rajin mencuci tangan, tidak menyentuh wajah dengan tangan yang kotor, berpantang berbagai jenis makanan pemicu jerawat yang sialnya adalah camilan kesukaan saya semua.  

Saya juga mencoba segala macam pengobatan herbal dan non herbal yang disarankan, tentunya yang murah meriah. Karena waktu itu masih sekolah dan masih sepenuhnya bergantung pada uang saku yang tak menentu.

Eh, jerawat bukannya menghilang malah berkembang biak gak karuan.

Ditengah-tengah putus asa saya, ada yang menghibur dengan mengatakan kalau jerawat akan mereda dengan sendirinya, seiring dengan berlalunya masa puber.

Demi mendengar itu, saya sampai bermimpi punya mesin waktu. Saya pengin segera melompati masa puber saya, dan tiba pada masa-masa wajah saya kembali seperti semula. Mulus tanpa jerawat.

Untungnya tidak ada mesin waktu. Kalau tidak saya tidak akan punya kenangan masa remaja, hanya gara-gara ingin lepas dari jerawat. Karena  kenyataannya sungguh berbeda dari yang diharapkan.

Masa puber lewat, jerawat tetap erat melekat.  

Dugaan saya sebelumnya kalau masalah jerawat yang saya alami disebabkan oleh masalah hormonal dan higienitas semata, tenyata keliru sama sekali. Masalah utamanya justru terletak pada tipe dan jenis kulit kombinasi saya yang menjadi habitat favorit jerawat.

Mau tidak mau, suka tidak suka, saya pun harus menghadapi kenyataan kalau saya akan berhadapan dengan masalah jerawat dalam jangka waktu yang jauh lebih lama daripada kebanyakan teman-teman sebaya. Bisa jadi malah selama sisa hidup saya.

Tidak ada pilihan lain, saya harus disiplin dengan segala cara mengendalikannya demi wajah mulus mempesona. Mempesona menurut saya lho ya, belum tentu menurut yang lainnya :)

Waktu sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri, sayapun berobat ke dokter kulit dan menjadi pelanggan sebuah klinik kecantikan. Menguras isi dompet yang masih tak seberapa isinya untuk obat-obatan, perawatan dan suntikan.

Hasilnya memang sempat cemerlang, sayapun kembali senang berlama-lama menatap bayangan diri di depan cermin. Percaya diri merekah kembali.

Tapi, begitu telat sedikit untuk kontrol ke klinik atau ke dokter kulit, jerawat bertaburan lagi. Stress pun kembali menghantui. Akibatnya, dompet saya pun dipaksa untuk selalu siaga satu setiap bulan-nya.
 
Perubahan ekstrim datang ketika saya hamil.

Takut membahayakan kehamilan yang sangat ditunggu-tunggu bertahun lamanya, saya pun menghentikan semua jenis pemakaian obat-obat kimia. Berhenti mengecat rambut meskipun uban mulai bermunculan dan tentu saja, berhenti memakai segala macam obat jerawat dan perawatan kulit wajah.

Sebenarnya itu termasuk dalam tindakan yang berlebihan, karena dokternya sudah memberi jaminan kalau obat-obatan itu aman untuk ibu hamil.

Tapi saya tetap keukeuh untuk meminimalisasi resiko apapun yang mempengaruhi kandungan saya.

Better save than sorry, itu semboyan saya.

Seperti sudah diprediksi, kulit wajah sayapun murka semurka-murkanya. Untunglah hanya sebentar saja. Begitu masuk bulan kedua, berangsur-angsur pulih sendiri. Tentu saja tidak se-glowing seperti ketika dalam perawatan, tapi semuanya tertutupi oleh aura kehamilan yang merona.

Begitu lahiran, wajah sayapun di kunjungi jerawat lagi. Tidak semasif sebelumnya, hanya satu dua, karena itu saya pun tidak terlalu menghiraukannya. Lagipula saat itu saya juga masih memberi ASI ke baby saya, jadi masih berusaha untuk bebas kontak dengan zat-zat kimiawi.

Yang bisa saya lakukan adalah menjaga kebersihan kulit wajah sebisa mungkin.

Cerita berubah ketika akhirnya merantau ke lain benua.

Surprise...surprise!
Jerawat mendadak enggan hinggap di wajah saya, padahal saya tidak melakukan upaya apapun untuk membuatnya lenyap.

Mungkin karena udara yang bersih, relatif bebas debu dan tidak gerah membuat kulit saya akhirnya bernafas lega dan bahagia.

Kalau sekarang? Jerawat kadang-kadang kembali, karena debu dan polusi disini tak bisa dihindari.

Tapi karena prioritas yang sudah berbeda dan saya juga sudah lebih bijak dalam memaknai hidup ini (semoga bukan  karena kege-eran saja ), masalah jerawat pun tidak lagi membuat saya terganggu atau pilu.

Setelah beberapa dekade terlibat romansa dengan jerawat, akhirnya saya sampai pada kesimpulan kalau mengobati jerawat itu seperti mengobati patah hati.

Pertama, untuk beberapa kasus (jerawat), hanya waktu yang akan menyembuhkan.

Kedua, sifatnya sangat personal. Tidak ada formula yang generik dan pasti untuk mengobati. Setiap hati eh kulit punya cara dan resepnya sendiri-sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun