Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Jerman yang Stagnan

2 Desember 2022   12:55 Diperbarui: 2 Desember 2022   13:01 268 4
Bicara soal Timnas Jerman, banyak orang mungkin sepakat, tim ini adalah salah satu tim paling konsisten soal prestasi. 4 gelar Piala Dunia, 3 gelar Piala Eropa, dan sejumlah penampilan di babak akhir kedua turnamen ini menjadi buktinya.

Dari performa mereka jugalah, sebutan "mental turnamen" muncul. Ciri khasnya mirip mesin diesel: lambat panas, tapi sekali panas sulit dihentikan.

Diluar masalah mental, Jerman juga punya sistem pembinaan pelatih dan pemain berkualitas. Ditambah keberadaan kompetisi Bundesliga Jerman yang konsisten berada di peringkat 4 besar koefisien UEFA, rasanya sulit meragukan kualitas Tim Panser.

Dari segi sistem permainan Jerman juga bertransformasi menjadi tim yang enak dilihat. Dari yang awalnya terpaku pada "staying power" menjadi identik dengan "gegenpressing" alias "counter pressing".

Sejarah oke, pembinaan oke, sistem permainan sudah di-upgrade, pembinaan pemain muda juga oke. Seharusnya tidak ada masalah.

Tapi, sejak empat tahun terakhir, level tinggi yang sudah mereka tampilkan justru anjlok ke titik terendah. Dimulai dari kegagalan di fase grup Piala Dunia 2018, nestapa Der Panzer juga berlanjut, saat terdepak dari babak 16 besar Euro 2020.

Menyusul kegagalan ini, pelatih Joachim Loew lalu mundur. Sebagai gantinya, DFB lalu menunjuk Hansi  Flick sebagai pengganti dengan catatan prestasi mentereng: Sixtuple Winners bersama Bayern Munich.

Di bawah komandonya, tiket lolos ke Piala Dunia 2022 memang bisa diamankan dengan relatif mulus. Mereka pun datang ke Qatar sebagai salah satu tim unggulan, dengan nama-nama muda seperti Jamal Musiala dan Kai Havertz berpadu dengan nama senior seperti Thomas Mueller dan Manuel Neuer.

Biasanya, perpaduan seperti ini akan jadi satu kekuatan menarik, karena ada pengalaman dan kecepatan di sana. Tapi, apa yang ditampilkan Thomas Mueller dkk di lapangan malah terlihat kacau.

Di laga perdana melawan Jepang, mereka memang bisa menguasai permainan secara statistik, tapi keuletan dan efektivitas Jepang mampu memaksa mereka takluk 1-2. Tak perlu banyak peluang dan menguasai bola, Jepang mampu membuat permainan agresif Jerman tak berarti.

Situasi memang sempat membaik saat jagoan Eropa ini menahan imbang Spanyol 1-1 dan membungkam Kosta Rika 4-2. Tapi,  kemenangan 7-0 Spanyol atas Kosta Rika di partai pembuka fase grup dan kemenangan 2-1 Jepang atas Spanyol membuat perbaikan itu percuma.

Untuk kedua kalinya secara beruntun, Jerman tersingkir di fase grup Piala Dunia. Sebuah stagnasi dan kemunduran yang nyata, untuk ukuran tim yang sebelumnya terlihat futuristik.

Sistem gegenpressing yang selama ini mereka andalkan, tampak mudah dijebol lewat serangan balik cepat. Cukup 1-2 peluang efektif, selesai sudah.

Soal pemain, mereka tampak kurang berani menampilkan darah muda seperti dulu, karena masih percaya dengan para senior. Mereka memang berpengalaman, tapi sudah "habis". Inilah yang membuat Jerman seperti kembali ke masa naik-turun prestasi antara tahun 1994-2004.

Satu lagi, soal rekam jejak di turnamen besar, tampaknya tim-tim lawan sudah mulai maklum dengan kebiasaan Jerman. Maka, bukan kejutan kalau para pesaing  berusaha mendepak mereka sedini mungkin, seperti yang terjadi dalam empat tahun terakhir.

Dengan mematikan mesin yang belum panas, kesulitan di babak lanjut tidak akan seberat sebelumnya. Itu sudah sukses dilakukan, dan tampaknya akan jadi strategi umum di turnamen selanjutnya.

Berangkat dari kegagalan akhir-akhir ini, tampaknya Timnas Jerman perlu segera melakukan penyegaran tim dan pembaruan sistem, seperti alih teknologi mesin dari diesel ke otomatis, sebelum akhirnya menuju listrik.

Sebelumnya, pembaruan ini telah sukses dilakukan setelah gagal di fase grup Euro 2004, dan terbukti sukses sampai Euro 2016, kala mereka jadi semifinalis. Sebuah siklus yang bagus, dan perlu dimulai lagi dalam waktu dekat.

Kecuali jika mereka ingin bernasib seperti Italia, juara dunia empat kali yang absen di dua edisi Piala Dunia terakhir. Kebetulan, grafik prestasi mereka setelah meraih trofi keempat sama persis: dua kali tersingkir di fase grup.

Akankah Jerman bernasib seperti Italia?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun